NavisRp80.000 Cashback Kab. Sukoharjo samudra solo cerpen cincin kelopak mawar pemenang lomba cerpen Aa Navis Awards Rp15.000 Cashback Kab. Kudus e-book-e MATA YANG INDAH: CERPEN PILIHAN KOMPAS 2001 - AA NAVIS DKK Rp50.150 Kab. Sleman Kedai Pataba AA Navis- 2 pcs Kliping Artikel Rp15.000 Cashback Bandung Kawan DuniaMayaShop
Sinopsis Novel "Kemarau" Karya Navis-Kemarau merupakan roman karya Navis yang pertama, yang diterbitkan pertama kali oleh Pustaka Jaya pada tahun petaui semakin merasa berputus asa atas musim kemarau panjang yang sedang menimpa negeri ini. Sawah dan ladang mereka sangat kering dan cuaca panas sangat menyengat tubuh. Keadaan itu membuat mereka tidak lagi mau menggarap sawah atau mengairi sawah mereka. Mereka hanya bermalas-malasan dan bermain kartu saja. Namun, ada seorang petani yang tidak ikut bermalas-malasan. Ia adalah Sutan Duano. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia tetap mengairi sawahnya dengan rnengangkat air dari danau yang ada di sekitar desa mereka sehingga padinya tetap tumbuh. Ia tidak menghiraukan panas matahari yang membakar tubuhnya. la berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Ia juga berusaha memberikan ceramah kepada ibu-ibu yang ikut dalam pengajian di surau desa mereka. Namun, tak satu pun petani yang menghiraukan ceramahnya apalagi mengikuti langkah-langkah yang dilakukannya. Tampaknya, keputusasaan penduduk desa telah sampai pada puncaknya. Suatu hari ada seorang bocah kecil bernama Acin yang membantunya mengairi sawah sehingga keduanya saling bergantian mengambil air di danau dan mengairi sawah mereka. Penduduk desa yang melihat kerja sama antara keduanya bukannya mencontoh apa yang mereka lakukan, melainkan mempergunjingkan dan menyebar fitnah, bahwa sutan Duano mencoba mencari perhatian Gundam, ibu si bocah itu, yang memang seorang janda. Bahkan, seorang janda yang menaruh hati pada Sutan Duano pun kemudian mempercayai gunjingan itu. Gunjingan itu semakin memanaskan telinga Sutan Duano, tetapi ia tidak menanggapinya dan tetap bersikap tenang. Suatu hari ia menerima telegram dari Masri, anaknya yang sudah dua puluh tahun disia-siakannya. Anak itu memintanya pergi ke Surabaya. Dalam hatinya, ia ingin bertemu dengan anak semata wayangnya itu, namun ia tidak mau rneninggalkan si bocah kecil yang masih memerlukan bimbingannya. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ia pun memutuskan pergi ke Surabaya. Sementara itu, para penduduk desa merasa kehilangan atas kepergiannya. Apalagi setelah mereka membuktikan bahwa semua saran yang diberikan oleh Sutan Duano membuahkan hasil. Mereka menyesal telah salah sangka terhadapnya. Sementara itu, sesampainya Sutan Duano di Surabaya, hatinya menjadi hancur ketika ia bertemu dengan rnertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia marah kepada Iyah karena telah menikahkan dua orang yang bersaudara. Karena marahnya itu, Sutan Duano mengancam akan memberitahukan kepada Masri dan Arni. Namun, Iyah berusaha menghalanginya dengan memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kalau saja Arni tidak menghalanginya, kemungkinan besar Sutan Duano tidak akan selamat. Melihat mantan suaminya bersimbah darah, Iyah rnerasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Ia kemudian menceritakan hal itu kepada Masri, sehingga mereka sepakat berpisah. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam.
Sastrawanbernama lengkap Ali Akbar Navis ini menghembuskan napas terakhirnya pada tahun 2013 karena komplikasi dan penyakit jantung. Meskipun ia wafat karya-karyanya tetap abadi seperti "Robohnya Surau Kami", Kemarau (1992), Saraswati Si Gadis dalarn Sunyi, (1970), dan lain lain. The Drought Novel by Navis is the object of this research. Tells the life of a middle-aged man who lives in a village. His desire to change the way people around him think about work and make sense of life is hampered by their nature and personal past. Explicitly this novel is like discussing the life of the main character. The reality behind it, culture, innuendo, and religious observance neatly packaged in it. Therefore from that novel that is able to load content in the form of reality and expression of the author, the researcher chooses Dynamic Structuralism as the study theory. Will be achieved in this article the approach used only from the perspective of the expressive approach. The method used is reading, recording, watching, recording data on film sources, and processing data. The results of this study resulted in the study of extrasic expressive Sasra works, criticism of the authors of the work on human behavior, the introduction of several Minangkabau cultures, and personal experiences of Navis Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SEMIOTIKA Volume 22 Nomor 1, Januari 2021 Halaman 24—31 URL E-ISSN 2599-3429 P-ISSN 1411-5948 24 KAJIAN EKSPRESIF TERHADAP NOVEL KEMARAU KARYA NAVIS NAVIS’ KEMARAU IN EXPRESSIVE APPROACH Galang Garda Sanubari1, Titik Maslikatin2*, dan Heru Saputra3 1Alumni Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember 2,3Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember *Correponding author titikunej Informasi Artikel Dikirim 11/8/2020; Direvisi 25/10/2020; Diterima 10/12/2020 Abstract The object of this research is a novel entitles Kemarau by Navis. It tells about the life of a middle-aged man who lives in a village. The purpose of this research describes the reality and expressions of the author in his works. The method used is descriptive qualitative. The analysis results show that the author, portrayed at the main character, wants to change people's lives and how perceiving work is collided by their personalities and past experiences. This novel is only explicitly discussing the life of the main character. The story is talking about culture, satire and religious obedience. The results of this research show in the extrinsic expressive assessment of literary works, the author's critics about the human behaviour, introduction to several Minangkabau cultures, and Navis' personal experience Keywords Dynamic Structuralism, Expressive, Kemarau Abstrak Novel Kemarau karya Navis yang menjadi objek penelitian ini bercerita tentang kehidupan seorang laki-laki paruh baya yang tinggal di sebuah kampung. Tujuan dari penelitian ini untuk mendeskripsikan realitas dan ekspresi pengarang dalam berkarya. Meode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukkan pengarang melalui tokoh utama berkeinginannya untuk mengubah cara pandang orang-orang di sekitarnya tentang kerja dan memaknai kehidupan yang terbentur oleh sifat mereka dan masa lalu pribadinya. Secara eksplisit novel ini seperti membahas kehidupan tokoh utama saja. Kenyataannya di balik itu, budaya, sindiran, dan ketaatan beragama dikemas dengan rapi di dalamnya. Maka dari itu penelitian ini menghasilkan pengkajian karya sasra secara ekstrinsik ekspresif, kritik dari penulis karya terhadap prilaku manusia, pengenalan beberapa budaya Minangkabau, dan pengalaman pribadi Navis Kata kunci Ekspresif, Kemarau, Strukturalisme Dinamik PENDAHULUAN Novel Kemarau karya Navis memiliki ciri khas kuat akan makna dan sindiran terhadap fenomena sosial. Latar musim kemarau berkepanjangan, mengungkapkan usaha tokoh bernama Sutan Duano untuk meyakinkan penduduk kampung agar mau bekerja keras melawan Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 25 kekeringan. Proses penceritaan novel ini mengingatkan kita akan karya lain dari Navis Robohnya Surau Kami. Tidak jauh berbeda, maka kedua karya ini memiliki sindiran yang sama dan menjadikan pola kebiasaan masyarakat sebagai objek dari pengarang. Karya Navis ini, menggambarkan bagaimana penduduk kampung yang umumnya petani menghadapi musim kering yang telah merusak sawah mereka. Warga terlihat putus asa dengan kemarau yang tidak kunjung selesai, sebagai wujud usaha mereka menempuh berbagai cara sesuai dengan apa yang diyakini. Warga kampung melakukan sholat untuk meminta diturunkan hujan, bahkan meminta pertolongan dari orang pintar dukun juga telah dilakukan. Tidak ada hasil yang didapatkan. Selain usaha menurunkan hujan, tidak ada lagi usaha yang coba dilakukan warga untuk mengolah lahan persawahan. Hampir semua dari warga hanya pasrah dan memilih untuk tetap tinggal di rumah. Ketika orang-orang kampung mulai pasrah dengan keadaan, kemudian dimunculkan tokoh Sutan Duano sebagai wujud nyata kerja keras yang ingin digambarkan oleh Navis. Berdasarkan penjelasan mengenai latar belakang pemilihan objek karya sastra, judul karya sastra, biografi pengarang karya, dan gambaran singkat mengenai novel, maka dipilihlah teori Strukturalisme Dinamik sebagai alat pengkajian. Strukturalisme dinamik dipilih sebagai teori pengkajian karena pengungkapan nilai estetik sastra pada novel tersebut dalam pencarian ketegangan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik cukup menarik untuk dikaji. Navis yang memang dikenal memiliki gaya bercerita yang meletup-letup dan kerap implisit dalam menyampaikan gagasannya disadari betul oleh penulis bahwa diperlukan suatu kajian yang memerlukan interpretasi khusus dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Keistimewaan novel ini ialah penyampaian sindiran yang dilakukan secara halus, cerita yang epik, dan mengandung makna-makna tersirat. Untuk mengkaji tegangan karya sastra dari segi intrinsik maupun ekstrinsik yang telah disebutkan di atas, penulis menggunakan teori lain sebagai alat bantu. Yakni teori “Universe Abrams”. Teori ini digunakan dengan 4 pendekatan karya sastra, yaitu objektif karya sastra, ekspresif pengarang, mimetik realita, pragmatik pembaca Teeuw, 1998189-190. Khusus pada artikel ini, peneliti tidak menggunakan keempat pendekatan milik Abrams. Pengkajiannya fokus pada pendekatan ekspresif yang mengungkapkan sudut pandang pengarang karya sastra. METODE Metode adalah suatu cara yang digunakan untuk memahami karya ilmiah. Penggunaan metode yang tepat akan berpengaruh pada keberhasilan penulisan sebuah karya ilmiah. Semi 19939 membagi metode penelitian menjadi dua jenis, yaitu metode kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif merupakan cara kerja penelitian yang menggunakan angka atau hitungan matematis sebagai jaln untuk mengumpulkan data, sedangkan kualitatif mengutamakan cara kerja berdasarkan analisis secara mendalam terhadap objek kajian secara empiris. Penulisan karya ilmiah ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan ekspresif. Metode kualitatif yang lebih spesifik digunakan yaitu deskriptif kualitatif. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Novel Kemarau membangun suasana dimana kita dibawa untuk membayangkan kehidupan warga desa yang kolot dengan lagak kebahasaan Melayu mereka. Suasana Melayu khas daerah Sumatra Barat terbangun kuat dalam cerita. Penggunaan sebutan Sutan di depan nama lelaki menjadi contoh suasana yang dihadirkan Navis. Penggunaan kata Amakuntuk menggantikan “ibu” menjadi penguat lain latar sosial dalam novel. Satu hal lagi dan itu yang paling kuat adalah penyusunan struktur kalimat yang terasa berbeda dari Bahasa Indonesia secara aturan. Misalnya dialog berikut “Habis. Apa untungnya mengambil orang kampung lain jadi orang semenda kita, kalau tidak kuat tulangnya melunyah sawah. Entah rang mana dia, mana kita tahu. Entah di mana sakonya asal-usul, entah di mana pandan pekuburannya.” Kemarau41 Dialog di atas merupakan pembicaraan dari masyarakat desa yang penasaran akan siap itu Sutan Duano. Dia tidak diketahui asal usulnya. Tiba-tiba saja dia datang dan menempati surau. Padahal untuk lelaki yang berusia 40 tahun, tidak wajar jika tinggal di sebuah surau. Hanya orang tua dan sudah merasa sebentar lagi akan meninggal saja yang seharusnya mendiami surau. Tinggalnya dia di surau tidak lain juga untuk melakukan ibadah lebih banyak, karena mengingaat umurnya yang kian menua. Lain cerita dengan Sutan Duano. Laki-laki yang masih segar tanpa asal-usul yang jelas tiba-tiba datang untuk tinggal di dalam surau. Sebagai wujud untuk menunjukkan eksistensi bahasa Minangkabau, Navis menggunakan kata sako yang dalam novel Kemarau hal, 41 memiliki arti sebagai asal usul. Contoh lain yang melibatkan kebudayaan Minangkabau sebagai latar belakang penulis adalah sebagai berikut “Ah. Nantilah ngomong. Bagaimana kau?” sela orang yang di kanannya. “Aku pas.” “Bilang dari tadi. Omong ya omong. Main terus juga. Kan main bukan dengan mulut. “Apa kau suka dengan si Gudam maka marah saja padaku, ha?” “Kalau aku tidak satu suku dengannya, sudah kawin bujang dengn gadis aku dengannya,” kata orang itu seray mengempaskan batu dominonya. Kemarau 36 Ada tiga jenis perkawinan yang pantang dilakukan oleh orang Minangkabau. Salah satunya adalah perkawinan sesama suku. Mereka menilai bahwa perkawinan yang dilakukan oleh orang satu suku akan merusak sistem adat. Diketahui bahwa orang-orang Minangkabau menganut sistem matrilineal. Selain menunjukkan eksistensi bahasa dan budaya Minangkabau, Navis tidak lupa untuk menunjukkan peringatan kepada pembaca tentang hal yang menurutnya salah. Ekspresi penulis diwujudkan dengan munculnya Sutan Duano. Pola pikir tokoh tersebut menentang pemikiran- pemikiran sederhana warga desa. Lewat Sutan Duano dia berdakwah, menyampaikan nilai kehidupan, dan beragama yang menurutnya benar. Berikut salah satu pandangan orang-orang yang menurutnya tidak benar n gelar adat untuk laki-laki Minangkabau Rusmali dkk, 1985 n amak; amai; mande; biai; ampu; induak - jari ampu jari Adnan, 2004 Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 27 “Tapi, orang tambah tercengan lagi karena sisa umurnya dihabiskannya dengan bekerja keras. Padahal, setiap orang yang mau mendiami sebuah surau adalah untuk menghabiskan umur tuanya sambil berbuat ibadah melulu, sembhayang, zikir, dan membaca Qur‟an sampai mata menjadi rabun. Memang itulah gunanya surau dibuat orang selama ini.” Kemarau3-4 Demikianlah menurut Navis mengenai pola pikir masyarakat, tentang orang yang sudah semakin tua dan tinggal di sebuah surau. Pendapat semacam itu tidak disukai olehnya. Dia menunjukkan dalam hampir seluruh penceritaan di dalam novel, bahwa tidak benar pola pikir demikian. Sebagai seorang pengkritik yang baik, Navis tidak hanya menyampaikan sesuatu yang menurutnya jelek saja. Dia juga menyampaikan solusi, sekaligus contoh hasil dari solusi tersebut. “Di waktu itulah Sutan Duano memulai suatu kehidupan baru. Beberapa bidang sawah terlantar diminta izin yang punya untuk dikerjakannya. ... Malam-malam ketika orang lagi asyik omong-omong di lepau atau mengikuti kusus, ia membenamkan dirinya mengikisi lumut kulit manis sampai tengah malam. Dan di samping itu ia telah mulai sembhayang dan mempelajari agama melalui buku-buku.” Kemarau6 “Tapi, Sutan Duano sudah termasuk jadi orang yang berada di kalangan rakyat di kampung itu. Ia sudah punya sepasang bendi, punya seekor sapi untuk membajak. Karenanya ia telah menjadi orang yang berarti, disegani oleh semua orang tapi bukan karena kayanya. Melainkan karena kebaikan hatinya, dipercaya, dan suka menolong setiap orang yang kesulitan.” Kemarau7 Menurutnya, kejayaan suatu nagari tidak tergantung pada luas maupun seberapa suburnya wilayah di sana. Melainkan aktivitas dari warganya masing-masing Navis, 1984120. Dia tidak juga menganjurkan manusia untuk pasrah dengan keadaan. Kemarau panjang adalah salah satu ganjalan besar warga desa untuk mengolah sawah. Solusi selalu dapat ditemukan dalam permasalahan sesulit apapun. Sebagai seorang manusia beragama, Navis cukup mengerti perihal ini. Pemahamannya soal agama juga dia selipkan beberapa kali di dalam cerita Kemarau. Agama bagi Navis bukanlah perantara atau alat untuk memperoleh sesuatu. Sering manusia menginginkan sesuatu, akan tetapi menggunakan agama sebagai landasannya. Ajaran yang digunakan untuk mengatur tata keimanan tidak patut digunakan sebagai alat. Apalagi hanya sebuah pemuas nafsu individual. Setidaknya itulah yang ingin dikatakan oleh Navis lewat kutipan berikut. “Kenapa tidak ada orang yang datang mengaji tadi?” tanya Sutan Duano kemarin sore pada seorang perempuan yang dijumpainya di jalan. “Kami malu,” jawab perempuan itu dengan sorotan mata yang minta maaf. “Malu? Pada siapa?” “Ya. Pada Guru.” “Kenapa?” “Kami perempuan di kampung ini suka pada Guru. Kami akan mengikuti segala yang Guru suruhkan. Tapi untuk mengangkut air danau untuk semua sawah itu, kami tidak SEMIOTIKA, 221, 202124—31 28 sepakat. Lain halnya kalau untuk sawah Guru seorang. Untuk menyiram sawah datuk Malintang yang pelit itu juga, kami tak mau.” Kemarau 60 ... “Sudah selama itu memberi pelajaran agama, hasilnya ternyata nihil. Perempuan di kampung itu hanya jadi pengikutnya, bukan pengikut ajarannya. Ia tidak suka pada pemujaan orang-orang, ia tidak suka sistem bapakisme yang sudah usang itu. Biarlah mereka tak lagi datang ke suraunya, katanya dalam hati. Kalau kedatangannya bukan karena hendak mempelajari agama.” Kemarau61 Navis menyindir keras agama yang hanya diperalat demi keinginan pribadi. Sindiran untuk perempuan-perempuan di kampung yang suka mengaji karena tertarik pada si Guru Sutan Duano. Mayoritas orang suku Minangkabau merupakan pemeluk agama Islam. Mereka juga dikenal memiliki kesetiaan akan agama dan budayanya. Kesetiaan mereka pada adat diungkapkan oleh mamangan hiduik dikanduang adaik, mati dikanduang tanah hidup dikandung adat, mati dikandung tanah. Maknanya adalah bahwa orang-orang Minangkabau sudah mengetahui di mana tempatnya dan tidak akan ada tempat lain Navis, 198486. Satu hal lagi yang tidak diinginkan oleh Navis lewat Sutan Duano. Membicarakan soal kebiasaan. Navis juga tidak luput mengungkapkan pendapatnya. Tampaknya, dia kurang setuju tentang beberapa kebiasaan . Berikut kutipan dialog yang menunjukkan sikapnya tentang kebiasaan “merantau”. “Sudah yakin benar Sutan akan berhasil lebih baik jika di kota?” tanya Sutan Duano setelah lama berpikir-pikir. “Keadaan nasib siapa yang tahu. “Jangan bermain judi dengan nasib, Sutan.” “Aku tidak bermain judi. Kalau di sini sangat sempit hidupku, mungkin di tempat lain Tuhan membukakan pintu rezeki selapang-lapangnya buatku.” “Di mana Sutan thau rezeki lebih lapang di kota daripada di sini?” ... “Di kampung ini pun setiap orang dapat memperbaiki nasibnya kalau ia giat.” Kemarau8-9 Lewat pernyataan Sutan Duano, Navis mencoba menyampaikan pendapat bahwa pergi ke kota bukan jaminan untuk menjadi sukses. Pergi ke tempat lain untuk mencari penghidupan, atau biasa kita sebut dengan merantau adalah kebiasaan dari masyarakat Minangkabau. Perbedaan pendapat Navis yang tidak sesuai dengan budaya Minangkabau tersebut bukan berarti dia tidak setuju sepenuhnya atas kebiasaan tersebut. Dia mencoba untuk menjelaskan pertimbangan tentang apa saja yang bisa terjadi. Merantau bukan satu-satunya cara untuk sukses. Bekerja di kampung halaman pun juga bisa sukses. Asalkan orang tersebut mau untuk bekerja keras. Sutan Duano adalah bentuk solusi dari Navis. Bukan hanya nasib yang tidak menentu keadaannya. Harmonisasi keluarga juga dapat terancam. Bagi seorang yang baru saja berangkat merantau, dapat dipastikan bahwa dia akan meninggalkan anak dan istrinya di kampung. Misalnya saja yang terjadi di dalam cuplikan cerita novel Kemarau berikut Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 29 “Kami sama-sama bertani dulunya. Tapi kemudian ia merantau ke kota. Enam bulan ia baru di rantau, ia telah sanggup membelikan anak istrinya pakaian yang layak ketika ia pulang. Tapi aku, apa yang telah dapat kuberikan buat istriku, selain anak bertambah setiap tahun?” “Aku dengar si Mariman itu, selama ini di rantau tak pernah mengirimkan nafkah buat keluarganya.” Sutan Caniago terdiam. “Itu kan tak bisa dibanggakan. Sutan di sini selalu menghiraukan keluarga Sutan. Meski kain bajunya tak terbelikan, tapi nafkahnya Sutan urus. Itu kan sama saja apa yang diberikan si Mariman kepada istrinya.” Kemarau11 Seperti itulah ketakutan yang ada di pikiran Navis. Layaknya kebanyakan hal pada umumnya, merantau juga dapat menghadirkan efek baik dan buruk. Tinggal menunggu saja, efek mana yang lebih dominan. Jika orang pergi merantau kemudian dia sukses, itu merupakan hal yang bagus. Apabila yang terjadi justru sebaliknya, maka tidak beruntung orang tersebut. Memang hasilnya tidak dapat ditebak. Justru karena itulah Navis mengingatkan mereka tentang kerugian yang dapat mereka hadapi. Permasalahan ini dapat disikapi dari sudut pandang lain. Mempertaruhkan nasib terkadang juga membutuhkan perhitungan. Melihat sikap dan gaya pemikiran warga desa, tampak mengkhawatirkan jika mereka harus beradu pikiran dengan orang kota. Belum lagi jika nanati mereka harus menerima kenyataan untuk kembali ke kampung halaman. Bukan hanya budaya merantau yang dikritik oleh Navis. Dia juga mengkritik kegiatan lain yang menurutnya mubazir. Kegiatan tersebut adalah kenduri turun mandi. “Aku tidak suka uang setoran ditunggak. Itu sudah perjanjian kita. Dan aku sudah bilang berkali-kali.” “Itulah, Guru. Aku perlukan senja ini datang pada Guru untuk minta maaf. Uang setoran itu diambil istriku kemarin.” “Aku tidak suka uangku digunakan untuk kenduri yang mubazir itu. Agama kita tak ada menyuruhkan kenduri turun mandi itu. Malah haram hukumnya karena keduri itu Uwo sampai menipu uang orang lain.” Kemarau50 Navis berpendapat jika kegiatan tersebut tidak diajarkan oleh agama Islam. Selain tidak diajarkan, kegiatan tersebut dinilai mubazir. Apalagi dalam kasus di atas, supir bendi yang bekerjasama dengan Sutan Duano telah membohonginya. Kenduri yang mubazir dan dibiayai dengan uang hasil berbohong, maka haram hukumnya. Pendapat-pendapat tersebut perlu dibahas lebih rinci. Agama Islam yang tidak mengajarkan kenduri dan menurut Navis adalah kegiatan mubazir. Kenduri menurut KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa, meminta berkah, dan sebagainya. Kenduri pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme- dinamisme. Sebenarnya tujuan diadakannya hanya untuk mencari hubungan antara manusia dengan Tuhan Herusatoto, 200125. Sebagai bentuk akulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal dengan ajaran agama Islam, umumnya kegiatan ini akan banyak ditemui di berbagai suku yang mayoritas beragama Islam. SEMIOTIKA, 221, 202124—31 30 SIMPULAN Berdasarkan data dan analisis di atas, pendekatan ekspresif pada novel Kemarau lebih mengarah kepada ekspresi pengarang untuk mengenalkan budaya daerahnya serta kritik sosial dan praktik keagamaan. Spekulasi seperti ini didasarkan pada isi konten di dalam cerita. Tidak terdapat satu pun bagian di dalam cerita yang mengungkapkan secara implisit maupun eksplisit soal pribadi penulis. Navis dengan tegas mengatakan bahwa untuk sukses tidak perlu merantau. Sukses bisa diperoleh di desa sekalipun, asalkan orang itu mau bekerja keras. Pendapat itu tidak hanya rekaan dari peneliti. Navis pernah mengatakan hal yang serupa ketika dia diwawancarai Kompas pada tanggal 12 Februari 1992. Dia juga menyampaikan pendapatnya soal beberapa poin kehidupan bergama. Lewat Sutan Duano, dia mengatakan jika membaca Al-Quran tanpa mengerti maknanya itu kurang pas. Kitab suci umat muslim ini tentu memiliki makna sendiri di balik kata-katanya. Akan tetapi, jika orang yang membacanya tidak mengerti maksudnya maka apa yang dapat dipraktekkan darinya. Pendapat ini diperkuat dengan contoh kasus di dalam novel. Ada seorang Buyayang mengajarkan tentang pratik zakat. Melihat dari cerita, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Buya tersebut. Seharusnya orang-orang tidak mampu yang harus menerima zakat. Tetapi justru Buya itu sendirilah yang mendapat bergoni-goni beras zakat. DAFTAR PUSTAKA Herusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Graha. MacIntyre, A. 1995. 'Is Patriotism a Virtue?'. Dalam Ronald Beiner ed.. Theorizing Citizenship. hlm. 208-229. Albany State University of New York Press. Nanda, dan Shofiyah, H. 2019. “Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis.” SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8. Navis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Pers. Navis, 2018. Kemarau. Jakarta PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Rusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Semi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa Raya. Som, & Hasanah, F. 2007. “Representasi Femme Fatale dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan.” Poetika Jurnal Ilmu Sastra, 12. Tarigan, 2015. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung Angkasa. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Kata sapaan islami kepada orang tua laki-laki; bapak atau KBBI Buya n - gelar ulama di ranah Minang; kiai adalah sebutan untuk seorang Kiai di Minang. Gelar ini biasanya diberikan kepada orang yang alim dalam ilmu agama. Kajian Ekspresif terhadap Novel Kemarau Karya Navis Galang Garda Sanubari, Titik Maslikatin, dan Heru Saputra 31 Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Ferli HasanahABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk memaparkan karakteristik-karakteristik femme Fatale yang terdapat dalam novel Cantik Itu Luka. Melalui tokoh-tokoh perempuan yang berbeda, ciri-ciri tersebut dapat ditemukan. Dengan menggunakan konsep femme fatale dari Yvonne Tasker dan Edwards, lima tokoh perempuan, yaitu Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, dan Si Cantik dapat dikategorikan sebagai femme fatale. Citra ini diperkuat juga dengan membandingkan ciri-ciri tersebut pada citra tokoh perempuan yang berbudi luhur. Simpulan akhir mengungkapkan bahwa pada diri tokoh-tokoh perempuan tersebut terdapat ambiguitas antara protagonis dan antagonis, femme fatale dan perempuan berbudi luhur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ada citra baru perempuan yang dibangun oleh dekonstruksi seksualitas pada novel kunci femme fatale, perempuan, seksualitasABSTRACTThis study aims to describe the characteristics of femme Fatale contained in the novel Cantik Itu Luka. Through different female characters, these characteristics can be found. Using the femme fatale concept of Yvonne Tasker and Edwards, five female characters, Dewi Ayu, Alamanda, Adinda, Maya Dewi, and Si Cantik, can be categorized as femme fatale. This image is also strengthened by comparing such characteristics in the image of a virtuous woman. The final conclusion reveals that in the female characters there is and ambiguity between the protagonist and the antagonist, the femme fatale and the virtuous woman. Thus it can be said that there is a new image of women built by the deconstruction of sexuality in this novelKeywods femme fatale, woman, seksualitySimbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita GrahaB HerusatotoHerusatoto, B. 2001. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta Hanindita Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme SosialisD I NandaH ShofiyahNanda, dan Shofiyah, H. 2019. "Perlawanan Perempuan dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan Tinjauan Feminisme Sosialis." SENASBASA Seminar Nasional Bahasa dan Sastra, 3 8.Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti PersA A NavisNavis, A. A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru. Jakarta PT Grafiti Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan KebudayaanRusmaliRusmali. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Pengajaran Bahasa dan Sastra IndonesiaA M SemiSemi, 1993. Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung Angkasa dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka JayaA TeeuwTeeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Widia diakses pada 1 Desember 2019, pukul
Cerpen"Robohnya Surau Kami" Karya A.A Navis sebagai Karya Unik dari Sang Kepala Pencemooh Wa Ode Rizki Adi Putri Ali Akbar Navis atau A.A. Navis, Sang Kepala Pencemooh, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya.
Skip to content BerandaProfilKeluargaPergaulanTak Suka DiamPandangan KebudayaanPandangan PendidikanPandangan KesusasteraanKarya SastraOtobiografiPengantarOtobiografiKarya & KegiatanPandangan TokohPerpustakaanCerpenNovelCerita RakyatPuisiMakalahArtikelGaleriFotoVideoKontributorKontribusi CerpenKontribusi PuisiKontribusi EsseiKontribusi FotoKontribusi ResensiKontakLogin Cerpen Cerpen2021-11-26T163159+0700 Cerpen“Gugatan sosial yang diajukannya itulah yang membuat karya-karya fiksi Navis menjadi bahan dokumentasi sosial’ yang sangat berharga dalam perkembangan sastra kita…”. KH. Abdulrahman Wahid, budayawan/mantan Presiden Republik Indonesia Lagu Kenangannyaadmin2022-03-31T232341+0700March 31st, 2022Cerpen Navis Lagu Kenangannya ALANGKAH bencinya aku pada lagu itu. [...]Read More 0 I b uadmin2022-05-30T132339+0700March 31st, 2022Cerpen Navis I b u IBU sangat menyayangi kami, [...]Read More 0 Mariaadmin2022-03-31T205558+0700March 31st, 2022Cerpen Navis M a r i a AIR Batang Antokan [...]Read More 0 Fragmenadmin2022-05-30T191111+0700February 26th, 2022Cerpen Navis Fragmen RENCANANYA Ben Virga, penyair itu, bangun [...]Read More 0 Ganti Lapikadmin2022-02-22T160256+0700February 22nd, 2022Cerpen Navis Ganti Lapik SUDAH sepuluh tahun lebih aku tak [...]Read More 0 Kisah Seorang Amiradmin2022-02-26T153153+0700January 18th, 2022Cerpen Navis Kisah Seorang Amir DI KAMPUNGKU banyak benar [...]Read More 0 12Next Yukcek cerpen kemarau karya aa navis Awan December 23 2018. Novel Kemarau karya AA Navis bertujuan untuk memberikan nilai-nilai pemikiran - Robohnya Surau Kami adalah kumpulan cerita pendek yang mengantarkan Navis meraih ketenaran di dunia sastra. Awalnya, cerpen ini terbit perdana pada tahun 1955 melalui majalah cerpen tersebut dimasukkan ke dalam buku kumpulan cerpen Navis yang diterbitkan Penerbit NV Nusantara di tahun 1956. Dengan oplah sekitar 3 ribu eksemplar, buku itu sampai naik cetak hingga 11 kali pada tahun 1961. Penerbitan kumpulan cerpen Navis lantas diambil alih penerbitannya oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama di tahun 1986. Dan, buku tersebut tetap laku keras dan beberapa kali dicetak ulang. Mengutip situs Ensiklopedia Kemdikbud, kumpulan cerpen Navis awalnya berisi 8 judul cerpen yaitu 1 Robohnya Surau Kami; 2 Anak Kebanggaan; 3 Nasihat-Nasihat; 4 Topi Helm; 5 Datangnya dan Perginya, 6 Pada Pembotakan Terakhir; 7 Angin dari Gunung; dan 8 Menanti Kelahiran. Pada edisi kedua yang diterbitkan PT Gramedia, ditambahkan lagi dua cerpen Navis yang berjudul Penolong dan Dari Masa ke Masa. Sinopsis Robohnya Surau Kami Dalam kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami terdapat 10 cerpen dengan ringkasan cerita seperti berikutRobohnya Surau KamiCerpen pertama berjudul Robohnya Surau Kami. Di dalamnya berisi kisah penjaga surau yang taat beribadah namun memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Penyebabnya yaitu dia menerima sindiran dari seorang pembual bahwa hidup tidak diridhoi Allah jika hanya beribadah tapi meninggalkan amal KebanggaanCerpen kedua berjudul Anak Kebanggan. Cerpen ini bercerita tentang seorang ayah yang ingin anak laki-laki mendapat kesuksesan dengan mengharapkannya menjadi dokter. Tapi, impian itu melayang saat anaknya meninggal ketiga berjudul Nasihat-nasihat. Pada cerpen ini diceritakan terdapat orang tua yang hidup lama dengan segudang asam-manis kehidupan. Dia merasa tahu segalanya. Suatu kali orang tua ini menafsirkan kisah cinta Hasibuan pada seorang gadis yang baru dikenal di atas bus. Orang tua tersebut mengatakan jika gadis itu kurang sopan dan meminta Hasibuan menjauhinya. Ternyata justru sebalik, si gadis adalah orang baik, sopan, dan HelmCerpen keempat berjudul Topi Helm. Di dalamnya dikisahkan perlakuan sewenang-wenang masinis kereta api pada bawahannya yang menjadi tukang rem gerbong bernama Pak Kari. Pak Kari sangat menghargai topi helmnya. Suatu kali Pak Kari bersalah telah lalai meninggalkan tugas mengerem gerbong kereta api. Penyebabnya, topi helm miliknya jatuh dan dia turun ke bawah gerbong padahal kereta perlu direm. Walhasil masinis marah dan membakar topi itu. Hal ini membuat Pak Kari merasa dendam. Dia lalu melempar bara api panas ke muka masinis saat berada di gerbong kereta dan PerginyaCerpen kelima adalah Datangnya dan Perginya. Diceritakan seorang ayah tidak menggubris anak-anak dari salah seorang istrinya. Saat menua, dia memperoleh surat dari anaknya untuk hadir berkunjung bertemu menantu dan cucunya. Meski awalnya muncul sikap angkuh, malu, dan bersalah, dia pergi juga memenuhi undangan itu. Lalu, dia bertemu mantan istrinya yang ternyata membuka rahasia mencengangkan. Anaknya yang bernama Masri menikahi Arni, yang tidak lain masih satu keturunan beda ibu. Sontak si ayah marah karena mantan istrinya tidak memberitahukan kekeliruan itu pada Masri. Keduanya lalu berdebat. Sang ayah lantas mengalah dan pulang tanpa menemui kedua Pembotakan TerakhirCerpen keenam bertajuk Pada Pembotakan Terakhir. Inti cerita yaitu mengisahkan Maria yang memperoleh perlakuan kejam dari neneknya. Padahal, Maria adalah anak yatim yang memerlukan dari GunungCerpen ketujuh adalah Angin dari Gunung. Cerpen ini bercerita tentang pertemuan dua mantan kekasih yang sudah berpisah selama 9 tahun. Bedanya dengan dulu, si gadis kini cacat namun tetap bersemangat menjalani hidup dengan mengabdikan diri untuk menjaga KelahiranCerpen kedelapan yaitu Menanti Kelahiran. Diceritakan terdapat pasangan muda yang menunggu lahirnya anak pertama. Suatu kali mereka ditipu orang yang menyamar sebagai pembantu rumah tangga. Orang itu berlagak melarat sehingga menimbulkan iba di hati pasangan tersebut. Dia dipekerjakan namun akhirnya mencuri barang-barang di rumah. Sang istri merasa syok yang memicu kontraksi rahim dan membuat si bayi lahir dalam keadaan kesembilan berjudul Penolong. Cerita cerpen ini seputar peristiwa kecelakaan kereta api di Batang Anai. Korban sangat banyak mengingat saat ini kereta api dipenuhi penumpang. Salah seorang penumpang bernama Sidin ikut membantu menyelamatkan korban. Dia bersusah payah ikut meringankan penderitaan orang lain saat Masa ke MasaCerpen terakhir adalah Dari Masa ke Masa. Cerpen ini dibuat berdasarkan pengalaman pengarang sewaktu masih muda. Di zaman dahulu banyak orang tua yang meminta anaknya untuk meminta nasihat pada orang tua-tua sebelum melakukan sebuah pekerjaan yang dianggap penting. Namun, kebiasaan itu berbeda dengan sekarang. Anak-anak sekarang malas bertanya dan meminta nasihat orang tua. Mereka tidak menampakkan kemajuan dan kurang inisiatifnya. Biografi Navis Ali Akbar Navis merupakan kelahiran Kampung Jawa, Padang Panjang, Sumatera Barat pada 17 November 1924. Dia meninggal dunia 22 Maret 2003 di Padang setelah mengalami sakit. Kepergiannya membawa duka bagi sang istri, Aksari Yasin, dan ketujuh anaknya yang terdiri dari Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini. Navis adalah sastrawan yang mendapat julukan "pencemooh nomor wahid" dan "sastrawan satiris ulung". Gelar tersebut sesuai dengan gaya penulisan Navis dan penggambaran karakter tokoh-tokoh kritis pada karya-karyanya. Para tokoh ini memberikan sikap kritis terhadap berbagai persoalan hidup. Robohnya Surau Kami adalah cerpen pertamanya yang memberikan sindiran tajam pada pelaksanaan kehidupan beragama. Karyanya ini telah mengguncang penikmat sastra Indonesia. Gaya kritis Navis tampak pula pada novel Kemarau 1967 dan cerpen berjudul Jodoh. Navis merupakan lulusan Perguruan Indonesche Nederlandsche School INS Kayutanam di tahun 1946. Dia saat itu telah bekerja sebagai pabrik porselen di Padang Panjang pada tahun 1944 - 1947. Dia lantas diangkat sebagai Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Sumatera Barat di Bukittinggi pada 1955 -1957. Navis pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat pada 1971 - 1972. Lantas, dia mulai fokus sebagai anggota DPRD Sumatera Barat periode 1971 - 1982. Usai purna tugas jadi anggota DPRD, dia mundur dari dosen luar biasa di Fakultas Sastra, Universitas Andalas. Semenjak itu, Navis mulai mencurahkan pikiran untuk menulis. Dia selalu termotivasi dengan pertanyaan setelah membaca buku karya Hamka yakni "orang lain bisa menulis, mengapa saya tidak?"Baca juga Bagaimana Kuntowijoyo Meramu Sejarah dan Sastra Sekaligus? Sinopsis Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer Robohnya Surau Kami dan Navis yang Dianggap Mengejek Islam - Sosial Budaya Kontributor Ilham Choirul AnwarPenulis Ilham Choirul AnwarEditor Alexander Haryanto Dalamnovel "kemarau", banyak ditemukan proses reduplikasi total seperti kata-kata di bawah ini: (1) Lepau-lepau (2) Bintang bintang (3) Taman-taman (4) Orang-orang (5) Bendar-bendar Dari contoh reduplikasi total diatas memiliki fungsi sebagai pembentuk jamak. Sementara bentuk reduplikasi parsial terdapat pada contoh berikut (6) Memilin-milin
Hasil foto saya sendiri pada saat berkunjung ke Museum. Sumber Foto milik sendiriJumlah Halaman 178 halamanPenerbit PT. Gramedia Widiasarana Idonesia, JakartaKemarau merupakan salah satu novel karya Navis yang menceritakan sebuah kampung yang mengalami musim kemarau panjang. Tanah dan sawah retak karena cuaca yang sangat kering dan panas. Para petani semakin berputus asa atas musim kemarau yang panjang. Untuk mengatasi hal itu mereka pergi ke dukun untuk mendatangkan hujan, namun hasilnya tidak ada. Dan setelah tidak ada hasil, barulah mereka ingat pada Tuhan. Setiap malam mereka pergi ke masjid untuk mengadakan ratib, mengadakan sembahyang meminta hujan. Tapi hujan tak turun juga. Keadaan itu membuat penduduk tidak mau lagi menggarap sawah mereka. Namun, ada seorang petani yaitu Sutan Duano yang tidak bermalas-malasan. Dalam keadaan kemarau panjang ini, ia mengambil air di sebuah danau agar bisa mengairi sawahnya sehingga padinya tetap tumbuh. la berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Namun, bukannya mengikuti perbuatannya, penduduk malah menganggap Sutan Duano gila karena mengambil air danau pada musim suatu hari, datanglah anak kecil sekitar umur 12 tahun bernama Acin menghampiri Sutan Duano yang sedang duduk. Dia bertanya mengapa Sutan Duano mengangkut air dari danau dan bercerita tentang orang yang tidak mau mengairi sawahnya pada saat musim kemarau. Setelah lama mereka berbincang Acin pun bekerja sama untuk mengambil air danau dan mengairi sawah mereka. Para penduduk yang melihat hal tersebut menganggap Sutan Duano sedang mencari perhatian kepada ibu Acin, yaitu Gundam janda enam tahun dengan dua orang anak. Mereka terus memperbincangkan Sutan Duano yang asal usulnya tidak jelas sambil bermain sore hari, ketika ia mengadakan pengajian di surau untuk kaum perempuan, Sutan Duano merasa sudah tiba saatnya untuk memengaruhi kaum perempuan untuk bergotong royong mengangkut air untuk membedakan mana sawah yang disiram dengan yang tidak disiram. Lalu ia berkata "meskipun manusia itu ada yang mengingkari Tuhan, kafir, munafik, tetapi kalau mereka giat berusaha, berani menantang kesulitan, mereka akan dapat lebih banyak dari orang yang malas, meski orang malas itu rajin sembahyang". Kemudian bercerita tentang susahnya orang zaman dahulu mempertahankan hidup dan kesulitan di negeri orang. Namun tetap saja hal itu tidak membuat penduduk setuju atas ajakan untuk mengairi Duano hampir putus asa akan hal tersebut. Apalagi para perempuan yang datang mengaji bukan untuk mendengarkan ceramahnya, melainkan mereka suka kepada Sutan suatu hari ia menerima surat dari anaknya yang berada si Surabaya. Anaknya meminta Sutan Duano untuk ke Surabaya. Dan berita itu pun meluas ke seluruh penduduk Mereka takjub bahwa Sutan Duano sudah memiliki anak yang kaya, bahkan mempunyai cucu. Padahal selama ini tak seorang pun tahu riwayat hidup dan asal-usulnya. Ini sebab Kutar membaca surat Sutan Duano merenungi masa lalunya, istrinya meninggal karena melahirkan anak keduanya, setelah itu dia kawin lagi tetapi istrinya tidak sebaik ibu Masri yang telah meninggal dan akhirnya cerai. Untuk mengisi kesepiannya, Sutan Duano bermain dengan perempuan malam dan Masri melihat hal tersebut dan marah kepada perempuan malam itu dan memukulnya sampai ia masuk penjara selama tiga bulan. Setelah ia keluar, dikampung itulah dia tobat. Sesampainya Sutan Duano di Surabaya, hatinya hancur ketika ia bertemu dengan mertua anaknya. Ternyata mertua anaknya adalah Iyah, mantan istrinya. Ia merasa kedatangannya adalah sesuatu yang sudah ditakdirkan, ia ingin meminta maaf atas perlakuannya di masa lalu. Dan akan memberitahu kepada anaknya tentang hubungannya dengan Iyah. Namun, Iyah sangat marah kepadanya dan mengusirnya, tetapi Sutan Duano tidak menyerah dan Iyah memukul kepala mantan suaminya itu dengan sepotong kayu. Kemudian Masri datang dan melihat Suan Duano bersimbah darah, Iyah merasa menyesal kemudian ia memberitahukan kepada Arni dan Masri bahwa Sutan Duano adalah mantan suaminya. Betapa terkejutnya Arni mendengarnya. Tak lama kemudian, Iyah meninggal dunia, sedangkan Sutan Duano pulang ke kampung halamannya dan menikah dengan Gundam, yaitu ibu dari dari novel ini terdapat banyak pesan moral dalam setiap ceritanya. Salah satunya, sifat dari tokoh Sutan Duano digambarkan dengan jelas, tokoh tersebut menyadarkan kita tentang begitu banyak hal yang seharusnya kita lakukan dan meninggalkan hal-hal yang tidak berguna. Di novel ini juga mengajarkan kita untuk bekerja keras, kita tidak boleh pasrah hidup kita kepada nasib, dukun, dan Tuhan. Lalu di novel ini juga mengajarkan kita untuk selalu mengingat dari novel ini hanya pada penggunaan bahasa yang sulit dipahami oleh masyarakat umum dan terdapat istilah asing yang saya tidak pahami.
Sinopsiscerpen robohnya surau kami karya aa navis menceritakan tentang kematian seorang kakek yang semasa hidupnya berprofesi sebagai garin (penjaga surau) dan lebih dikenal sebagai tukang asah pisau. Source: mereka melakukan protes kepada tuhan.

© Les oeuvres d'Art présentes sur Artabus sont soumises aux dispositions des différentes législations nationales et internationales sur la protection des droits d'auteurs. Toute reproduction ou utilisation des oeuvres de cette galerie est interdite sans autorisation écrite de l'artiste contemporain Bernadette Marechal.

Sebagaisastrawan, A.A. Navis telah meraih sejumlah penghargaan atas karya-karya yang dihasilkannya, antara lain (1) "Robohnya Surau Kami" dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Kisah tahun 1955.
This study aims to provide sympathetic insight for who are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in the short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of the religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is considered as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free SASDAYA Gadjah Mada Journal of Humanities e-ISSN 2549-3884 e-mail ANALISIS CERPEN “ROBOHNYA SURAU KAMI” KARYA NAVIS DALAM PERSPEKTIF POSMODERNISME LINDA HUTCHEON Rudi Ekasiswanto Email rudiekasiswanto Staf Pengajar Bahasa dan Sastra Indonesia, Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta ABSTRACT This study aims to provide sympathetic insight for whom are interested in short stories in Indonesia through the perspective of Linda Hutcheon historical postmodernism. Through this research, we can find a description of story facts and the ideas of the author that are realized through the center and the periphery, along with the contextualization aspects of the short story Navis’ Robohnya Surau Kami to nowadays society. This research also contributes to literary works appreciation to educational institutions, academics, the society of literary enthusiasts, and the wider community in the form of short story research with the perspective of Linda Hutcheon’s postmodernism so that it is expected to increase the quantity of practice in postmodernism studies. The methodology used in short story Robohnya Surau Kami using Linda Hutcheon's postmodernist theory is a descriptive method of analysis, by describing the facts which are then analyzed. The analysis does not merely describe but also gives sufficient understanding and explanation. Robohnya Surau Kami by A. A. Navis is a monumental work A. A. Navis containing religious elements. In his work, A. A. Navis presents inner experiences about the concept of religious life of small communities in Indonesia. This short story is an outstanding and popular work as it is consider as a rare religious literature; AA Navis does not merely tell about worship and devotion to God, but also humanitarian values in Indonesia loaded with caring and tolerance so that it is necessary to trace the facts of the story in the short story, identify the center and the periphery that triggers conflict, and the implications of its contextualization of society in the present. Keywords postmodernism, postmodern fiction, story facts, fiction elements, center and periphery, contextualization Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 28 PENDAHULUAN Istilah posmodernisme muncul pada tahun 1926 sebagai judul buku dan mulai banyak digunakan di dunia Barat pada tahun 1930–1940. Posmodernisme berfokus pada transformasi penting yang terjadi di masyarakat dan kebudayaan kontemporer Sarup, 2003 228. Menurut McHale 1991 4, posmodernisme adalah istilah yang acuannya tidak ada karena ia adalah suatu konstruksi. Meski demikian, McHale 1991 5 menekankan bahwa posmodernisme tidak melulu terjadi setelah’ modernisme, namun lebih kepada dari’ modernisme. Menurut Hutcheon 2004 1, posmodernisme membangun ideologi yang kontradiktif, tetapi tidak oposisional. I offer instead, then, a specific, if polemical, start from which to operate as a cultural activity that can be discerned in most art forms and many currents of thought today, what I want to call postmodernism is fundamentally contradictory, resolutely historical, and inescapably political. Hutcheon, 1988 4 Dalam karya sastra posmodernisme, faktor otonom menjadi hal yang diragukan. Karya posmodernisme menjunjung sifat intertekstual dalam pembentuknya, sehingga terdapat konstruksi historiografi dalam sebuah fiksi posmodern. Kontradiksi posmodernisme termanifestasi pada konsep “keberadaan masa lalu” yang bertujuan untuk membentuk karya yang kritis Hutcheon, 19884. Dalam usahanya, penulis akan mengungkapkan gagasan-gagasannya baik secara implisit maupun eksplisit. Beyley dalam Hutcheon, 1988 57 mengungkapkan bahwa siapapun yang menulis sebuah karya pasti memiliki ide yang jelas mengenai apa yang baik dan buruk dalam kehidupan. Melalui ide-ide yang diwujudkan inilah, penulis akan menunjukkan keberpihakannya terhadap dunia. Hal ini dapat diketahui dengan menelusuri kontekstualisasi antara karya dengan kondisi sosial masyarakat. Pada aplikasinya dalam bidang kesusasteraan, teori posmodernisme lebih sering digunakan untuk mengkaji karya-karya yang dianggap baru ataupun mendukung modernitas. Melalui teori posmodernisme, karya-karya tertentu ditelaah dan dipandang perspektif posmodern-nya sehingga menjadi fiksi posmodern. Namun sebagai perkembangan dari modernisme, posmodernisme juga dapat digunakan untuk mengkaji karya-karya yang telah terbit dalam kurun waktu yang lama. Salah satunya adalah cerpen berjudul Robohnya Surau Kami karya Ali Akbar Navis. Robohnya Surau Kami adalah karya monumental Navis yang terbit dalam kumpulan cerpen pada tahun 1965 dan masih dikenal hingga sekarang. Pada masa tersebut, karya sastra yang lahir cenderung menampakkan aspek-aspek posmodernisme Prihatmi, 1999, yakni menampilkan peristiwa yang seringkali berada di luar logika pada umumnya. Pada masa tersebut, Robohnya Surau Kami pun dinilai berada di luar logika umum’ sebab ia menceritakan peristiwa yang mengada-ada dan tidak nyata’. Meskipun demikian, cerpen tersebut tetap dapat diteliti aspek posmodernitas-nya sebab ia memiliki relevansi dengan kehidupan sosial masyarakat; Robohnya Surau Kami dinilai menyajikan pandangan yang memiliki pengaruh terhadap manusia sebab ia menjelaskan hal-hal yang dihindari sebagian besar umat beragama, yakni pertanyaan dan konstruksi mengenai dosa dan pahala, hari akhir dan akhirat, serta ketuhanan. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 29 Robohnya Surau Kami sebagai Fiksi Posmodern Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis menceritakan tentang seorang penjaga surau yang meradang akibat mendengar cerita dari seorang pembual tentang kejadian di akhirat kelak. Dikisahkan oleh si pembual, bahwa Tuhan lebih menyukai orang-orang yang tidak hanya fokus beribadah sepanjang hidupnya, tetapi juga menjalankan perintah-Nya untuk menyayangi sesama, melindungi keluarga, mencintai alam, bekerja, dan sebagainya. Si kakek penjaga surau yang memang menghabiskan hidupnya untuk merawat surau dan beribadah kepada Tuhan pun akhirnya bunuh diri. Dalam proses kreatifnya, Navis dikenal selalu memberikan efek getir pada cerita-ceritanya untuk membahas mengenai ironi yang ada di dunia, terutama di negeri ini. Dari cara penulisan itu, dapat diketahui apa yang menjadi maksud pengarang sebenarnya. Hal ini disebabkan oleh proses penulisan karya yang sangat dipengaruhi oleh keadaan yang sedang berlaku di sekitar seorang penulis. Penulis yang peka akan terangsang intuisi kebahasaannya untuk melihat dan menerjemahkan apa yang terjadi menjadi bahan olahan untuk kemudian diproses menjadi sebuah kisah yang bahkan bisa tak pernah menampakkan ide dasar penulis secara gamblang, namun harus dianalisis oleh pembaca, dengan kata lain dituliskan secara implisit. Hal ini senada dengan yang dilontarkan Teeuw 1988, bahwa sastra Indonesia lahir pada tahun 1920 dengan latar belakang sosial politik, oleh sebab itu sastra menjadi media bagi para pemuda untuk mulai menyuarakan pikirannya. Latar belakang itu tampak dari cara Navis menggunakan unsur kedaerahan dalam cerita-ceritanya. Menurut Goodman 1977, ...the abstract literary elements are to be found, not in the signications and their associations, but in the means of signifying; they are not the denotations and connotations, but the parts of speech. Jadi, elemen abstrak kesusasteraan dapat ditemukan, tidak secara signifikan dan dalam asosiasi-asosiasi tertentu, tapi memiliki makna yang menandakan; elemen abstrak tersebut bukanlah denotasi maupun konotasi, melainkan bagian dari cara berbicara. Dari sanalah sastra yang cenderung abstrak juga diminati oleh sebagian orang. Demikian juga yang terdapat dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Daripada menceritakan secara eksplisit kebobrokan moral serta sosial yang mengimpitnya, Navis memilih untuk meracik ceritanya dengan sederhana, khas, dan penuh makna. Ia tak mendiskreditkan pihak tertentu, tapi mampu melayangkan kritik secara tepat sasaran kepada umat manusia secara keseluruhan. Hal ini pun tak membuat cerpennya berbatas pada diskursi didaktif semata. Sebaliknya, Navis menyiratkan ironi yang bahkan dapat menjembatani pikiran siapa saja. Daripada disebut mengkritik umat beragama atau cara beragama, Navis bisa dibilang menonjolkan tuntunan hidup yang ingin disampaikan dan dihayati bersama. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa cerpen Robohnya Surau Kami juga termasuk sebagai fiksi posmodern sesuai dengan pendapat Hutcheon 1988 41 berikut. The more complex and more overt discursive contextualizing of postmodernism goes one step beyond this auto-representation and its demystifying intent, for it is fundamentally critical in its ironic relation to the past and the present. This is true of Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 30 postmodern fiction and architecture, as it is of much contemporary historical, philosophical, and literary theoretical discourse today. Menurut Hutcheon, fiksi posmodern terbebas dari representasi otomatis dan usaha-usaha deskriptif belaka. Ia secara fundamental kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu dan masa depan. Dalam hal ini, Robohnya Surau Kami memiliki kecenderungan untuk mengatasi representasi otomatis tersebut dan sebaliknya, ia mengarahkan bentuk yang terlepas dari nostalgia. Hal ini dapat terlihat dari penggambaran narasi keseluruhan cerita yang dituturkan dari sudut pandang tokoh aku’ terhadap pembaca yang diwakilkan sebagai Tuan’. Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku Navis, 1965140. Pada penggalan cerpen di atas, dapat diketahui bahwa tokoh aku’ memperkenalkan segala unsur dalam ceritanya dengan gamblang. Ia mendapati diri sebagai narator yang menyadari keberadaan pembacanya dan secara tidak langsung menunjukkan urgensi isi pesan yang dibawanya. Pemilihan sudut pandang ini dijelaskan Hutcheon 198845 sebagai berikut. In its contradictions, postmodernist fiction tries to offer what Stanley Fish 1972, xiii once called a “dialectical” literary presentation, one that disturbs readers, forcing them to scrutinize their own values and beliefs, rather than pandering to or satisfying them. But as Umberto Eco has reminded us, postmodern fiction may seem more open in form, but constraint is always needed in order to feel free in Rosso 1983, 6. This kind of novel self consciously uses the trappings of what Fish calls “rhetorical” literary presentation omniscient narrators, coherent characterization, plot closure in order to point to the humanly constructed character of these trappings—their arbitrariness and conventionality. Fiksi posmodern mencoba menawarkan presentasi sastra dialektis’ yang terkesan mengganggu pembaca dan memaksa mereka untuk meneliti nilai-nilai dan keyakinan yang mereka anut, daripada sekadar menjadi pemuas mereka. Meskipun fiksi posmodern tampak lebih terbuka, selalu terdapat pengikat yang membuat kita menyadari pentingnya menjadi bebas. Dengan demikian fiksi posmodern secara sadar menggunakan apa yang disebut Fish sebagai presentasi sastra retoris’ narator mahatahu, karakterisasi yang koheren, penutupan alur untuk menunjukkan karakter yang dibangun secara manusiawi—baik kesewenang-wenangan dan konvensionalitas mereka. Menurut Hutcheon 198845 hal ini merupakan salah satu eksploitasi kontradiktif posmodern dan subversi dari aspek-aspek fiksi realis maupun modernis. Dari penjabaran di atas, dapat kita ketahui bahwa Robohnya Surau Kami memuat ciri fiksi posmodern. Keberadaannya bukan sebagai pemuas golongan ekstrem tertentu, sebaliknya ia memuat nilai-nilai kebersamaan dan kearifan yang umum kita kenali dalam masyarakat daerah Indonesia yang menjunjung kekerabatan. Ia juga dapat disebut sebagai posmodern sebab meninggalkan baik aspek fiksi realis maupun modernis. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 31 Hal ini cukup menarik sebab Robohnya Surau Kami selama ini lebih dikenal sebagai karya yang berlatarkan religiusitas. Dewasa ini, topik tentang karya sastra dengan nuansa keagamaan yang kental menjadi salah satu isu yang digemari khalayak luas, terutama berkenaan dengan merenggangnya ikatan toleransi antarwarga Indonesia. Secara teori, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Menurut Heryanto 2018 73, agama dapat menawarkan keteduhan bagi orang-orang yang tak mampu secara ekonomi dan politik serta tak memiliki perwakilan atau kuasa dalam meraih keadilan. Bagi orang kaya urban yang kritis terhadap status quo, agama dapat berperan sebagai titik berangkat bagi pembangkangan ketika seluruh jalur yang sah untuk politik resmi sudah ditutup. Bagi mereka yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan, korupsi, dan kekerasan yang disponsori oleh negara, ketakwaan dapat membantu memulihkan kecemasan tentang status mereka, mengurangi rasa bersalah, atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan mereka. Lambat laun, hal ini dikenal sebagai identitas religiusitas yang tercermin dalam berbagai produk kehidupan manusia, salah satunya karya sastra. Belakangan, dengan maraknya peristiwa benturan beragama, penelitian dengan objek sastra religi menjadi kembali diminati. Terutama berkenaan dengan tujuan penciptaan karya sastra dan bagaimana pembaca mampu menerimanya. Herfanda 2008 132 menyatakan bahwa apa pun orientasi penciptaan karya sastra, karena merupakan sekumpulan sistem tanda yang menyimpan makna, maka ia akan memiliki kemampuan tersembunyi subversif untuk mempengaruhi perasaan dan pikiran pembacanya. Hal ini menjadi salah satu kemampatan sastra religi untuk membenahi diri dan menguatkan posisinya sebagai karya sastra yang seharusnya direaksi, diproses, atau dipecahkan. Kreativitas dalam sastra religi diharapkan untuk selalu berada pada jalur yang semestinya, sebisa mungkin tidak menimbulkan kontroversi. Padahal, menurut William dalam Faruk, 2015 44, kreativitias merupakan ciri khas sastra, bahkan menyangkut keseluruhan tata kehidupan masyarakat. Setiap pengarang akan menggunakan cipta, rasa, dan karsa dalam berkarya. Begitu pula pembaca, dalam menanggapi karya sastra juga tidak akan lepas dari kejiwaan masing-masing Denta 2010. Oleh sebab itu, hingga kini sastra religi masih sering mengundang polemik-polemik minor dalam lingkungannya. Terutama berkenaan dengan apa yang dianggap benar dan direstui. Hasil yang diperoleh adalah kebenaran yang mempunyai nilai-nilai artistik yang dapat menambah koherensi dan kompleksitas karya tersebut Wellek dan Werren, 1990108. Sebab menurut Mangunwijaya 198212, religiusitas sendiri lebih melihat apa yang ada dalam diri seseorang dalam menjalankan kewajiban agamanya. Sementara agama, menurut Mangunwijaya 198211, menunjukkan kelembagaan kebaktian pada Tuhan dengan hukum-hukum yang resmi. Religiusitas bersifat totalitas individu. Ia mengatasi lebih dari sekadar agama yang diakui secara kolektif dan memiliki keteraturan ketat. Religiusitas lebih bergerak ke tata paguyuban yang khidmat, konsentrasi diri, pasrah sumarah, dan mendengarkan sabda Ilahi dalam hati Mangunwijaya, 198212. Demi membuktikan bahwa religiusitas memiliki dimensi yang lebih luas daripada agama, Glock dan Stark dalam Djamaluddin dan Nashori, 200176, mengungkapkan lima macam dimensi religiusitas, yaitu 1 dimensi keyakinan ideologi, 2 dimensi peribadatan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 32 atau praktik agama ritualistik, 3 dimensi pengalaman, 4 dimensi ihsan penghayatan, dan 5 dimensi pengetahuan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa karya sastra yang memuat aspek religiusitas memiliki kompleks yang sama dengan aspek-aspek lainnya. Terutama di Indonesia, yang mana memiliki kadar-kadar tertentu tentang kapan religiusitas tersebut ditampakkan dan disembunyikan. Meski demikian, sastra religi masih menjadi salah satu genre yang diminati pembaca. Banyak di antara karya sastra religi tersebut juga mengusung tema modernitas dan menjadi sastra populer seiring dengan munculnya komunitas-komunitas berbasis keagamaan yang merambah dunia kreatif sebagai media dakwah dan ekspresi diri. Hal ini disebabkan kesadaran para penggiat agama tersebut bahwa, seni populer biasanya lebih dapat diakses–seni populer adalah tentang kita dan ada di mana-mana–dan akrab, dia menarik karena dirinya sendiri dan mengungkapkan secara tidak sadar tentang budaya yang diekspresikan White, 1972. Di balik itu, masih banyak karya sastra religi yang sejak kemunculannya menjadi salah satu tonggak penanda khazanah sastra Indonesia. Karya-karya ini umumnya termasuk dalam sastra serius. Menurut Pujiharto 2010 21, karya sastra serius adalah karya yang menyajikan pengalaman kemanusiaan namun dengan tingkat kesulitan pemahaman yang lebih tinggi dibanding sastra populer karena sastra serius menggunakan fakta-fakta dan sarana-sarana cerita yang lebih rumit hingga untuk memahami temanya pun harus melewati langkah-langkah analisis yang serius pula. Sehingga dapat dipahami bahwa sastra religi tidak hanya penting bagi masyarakat pada umumnya, tetapi juga berkenaan dengan sumbangsihnya pada kesusasteraan. Pada tataran inilah, Robohnya Surau Kami menjadi penentu bahwa sastra religi tidaklah singup seperti yang diperkirakan. Sebaliknya, ia dapat dipandang dalam berbagai paradigma dan metode yang menghasilkan berbagai kesimpulan. Postmodern fiction challenges both structuralist/modernist formalism and any simple mimeticist/realist notions of referentiality. It took the modernist novel a long time to win back its artistic autonomy from the dogma of realist theories of representation; it has taken the postmodernist novel just as long to win back its historicizing and contextualizing from the dogma of modernist aestheticism. Hutchen, 1988 52 Fiksi posmodern menantang formalisme strukturalis/modernis dan gagasan mimesis/realis sederhana tentang referensialitas. Artinya, ia memiliki kecenderungan untuk mengubah apa yang selama ini dipahami sebagai bentuk baku referensi dan bahkan menggunakan bentuk yang sama sekali baru. Referensi tak lagi ditunjukkan terang-terangan dengan catatan kaki, tetapi dilesapkan dalam keseluruhan isi karya. Robohnya Surau Kami yang termasuk novel lama dapat dikatakan menggunakan kembali otonomi artistiknya dari dogma teori representasi realistis untuk menitikberatkan aspek historisasi dan kontekstualisasi. Robohnya Surau Kami, sesuai pandangan Hutcheon 1988 53, secara paradoks menggunakan dan menyalahgunakan konvensi realisme dan modernisme untuk menantang transparansi mereka dan untuk mencegah penyingkapan terhadap kontradiksi yang membuatnya menjadi fiksi posmodern sebagaimana adanya historis dan metafiksi, kontekstual dan refleksi diri, selalu menyadari statusnya sebagai wacana, dan sebagai konstruksi manusia. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 33 PEMBAHASAN FAKTA CERITA, PUSAT DAN PINGGIRAN Aspek-aspek posmodernisme dalam sebuah karya meliputi penggunaan dan penyimpangan fakta ceritanya dalam membangun keseluruhan cerita dan hubungan antara pinggiran dan pusat, antara tertindas dan penindas, serta kontekstualisasi di dalamnya. Peristiwa yang telah terjadi diceritakan ulang dan ditunjukkan sebagai sesuatu yang secara sadar disusun menjadi narasi yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Hal ini penting sebab dalam fiksi posmodern, penggunaan konsep “keberadaan masa lalu” sama sekali tidak menyangkal eksistensi masa lalu yang riil, tetapi memusatkan perhatian pada tindak pemaksaan tatanan pada masa lalu itu dengan tidak mengodekan strategi penciptaan-makna melalui representasi Hutcheon, 2004104. Oleh sebab itu, pengarang dapat hadir melalui keberpihakannya dalam cerita untuk menyampaikan gagasan dari kelompok atau golongan yang diwakilinya. Fakta yang ada dalam karya sastra dapat menyokong keberadaan pengarang melalui suara-suara kepengarangannya, sudut pandang, narator, atau tokoh-tokoh tertentu untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang dipandangnya memiliki tingkat kebenaran atas suatu peristiwa. Sehingga dapat dipahami pelajaran penting dari posmodernisme adalah bahwa peneliti tidak diperbolehkan untuk membatasi investigasinya pada teks dan pembaca, melainkan pada proses produksi sebuah karya. Diperlukan lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Fakta Cerita Fakta yang terkandung dalam fiksi posmodernisme ialah peristiwa yang dimaknai. Dalam metafiksi historiografis, proses pengubahan peristiwa menjadi fakta melalui penafsiran bukti dokumenter ditunjukkan sebagai proses pengubahan jejak-jejak masa lalu menjadi representasi historiografis Hutcheon, 200489. Dalam fiksi posmodern, terjadi gabungan unsur faktual dan unsur fiktif. Unsur faktual berupa peristiwa masa lalu, sementara unsur fiktif berupa pelaku, plot, fantasi, prophesi, serta pola dari ritme Forster dalam Kuntowijoyo, 2006176. Pendapat Forster tersebut melengkapi pandangan Hutcheon mengenai unsur-unsur pembangun metafiksi historiografi. Bukti dokumenter yang dimaksud Hutcheon berupa teks-teks lain yang telah terlebih dahulu ada dan berperan sebagai referensi, sehingga fiksi posmodernisme umumnya memuat intertekstualitas untuk menunjang cerita. Teks-teks lain yang sudah ada didukung atau didekonstruksi oleh penulis untuk mewujudkan gagasan yang ingin disampaikannya. Miola 201413 mengidentifikasikan intertekstualitas menjadi tiga kategori, yakni; kategori pertama, di mana teks sebelumnya muncul secara verbal/tersurat; kategori kedua, di mana pembaca akan mengenali adanya teks lain dalam teks tersebut melalui kekayaan individualnya; dan kategori ketiga, di mana pemberian teks sebelumnya bersifat argumentatif memuat referensi berlapis sehingga dapat diperdebatkan. Kategori kedua dan ketiga mengindikasikan teks lain yang muncul secara tersirat. Dalam analisis ini, kajian meliputi tipe teks paralogues, yakni teks yang menjelaskan tokoh, sosial, atau makna politis dalam teks lainnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 34 Today, critics can adduce any contemporary text in conjunction with another, without bothering at all about verbal echo, or even imprecise lines of filiation. In some ways the discussion of paralogues departs from past critical practices, bringing new freedom; but, of course, new perils threaten; rampant and irresponsible association, facile cultural generalization, and anecdotal, impressionistic historicizing. Miola, 201423 Paralogues muncul secara implisit sehingga penelusuran pembaca tidak akan berhenti pada apa yang disampaikan penulis semata. Paralogues membawakan kebebasan bagi setiap penulis untuk mengekspresikan diri tetapi juga memberikan kaitan historis akan setiap karya. Paralogues disebut pula interdiscursivity, yang berarti hubungan antar teks, baik lisan maupun tulisan, berkenaan dengan semua wacana yang terekam dalam budaya yang memiliki kemiripan dan secara ideologi terorganisir Miola, 201423. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis, unsur interdiskursivitas sarat tampak pada bagaimana pengarang mengungkapkan kepercayaan spiritualnya. Hal ini seperti tampak pada penggalan cerita berikut. “Pada suatu waktu,” kata Ajo Sidi memulai, “di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang.” Navis, 1965 143 Sebagaimana yang diceritakan oleh tokoh Ajo Sidi, A. A. Navis menyitir kutipan-kutipan kepercayaan manusia yang beragama Islam tentang suatu peristiwa yang dipercaya akan terjadi di akhirat. Hal ini dapat terjadi sebab umat Islam diwajibkan mengimani apa yang disebut hari akhir dan hari kebangkitan. Seperti yang tertera pada Surah Az-Zumar ayat 68 yang berbunyi, “Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa yang di langit dan di bumi kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian dititup sangkakala itu sekali lagi maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu putusannya masing-masing.” Meskipun secara akal pikiran, hal ini tidaklah dapat dijadikan landasan yang logis, tetapi dalam metafiksi historiografi, hal ini dapat diterima sebab memuat budaya baik lisan maupun tulisan yang bersifat spiritual dan terorganisir secara ideologi. Dalam Robohnya Surau Kami, unsur ini dominan sebab kerangka yang dibangun A. A. Navis adalah kemasyarakatan dalam umat Islam yang semakin lama semakin memudar. Jika dalam metafiksi historiografis, fakta adalah peristiwa yang dimaknai, maka dalam Robohnya Surau Kami, A. A. Navis menarik fakta yang ada dalam isu-isu sosial yang berusaha dikemukakannya dan menjelaskannya dengan cara yang terbilang antimainstream, yakni melalu penghakiman pada hari kebangkitan. Metode ini umumnya banyak diterapkan dalam karya sastra religi yang berusaha memberikan kompensasi terhadap segala sesuatu yang dikerjakan manusia melalui janji-janji dan balasan yang setimpal di kehidupan yang sesungguhnya’. Meski demikian, lewat Robohnya Surau Kami, A. A. Navis memberikan twist yang tidak terduga dengan memaknai kriteria Tuhan sebagai hal yang tidak biasa. Alih-alih dengan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan yang diwujudkan dalam bentuk surga kepada orang-orang yang terus-menerus dan selalu beribadah, Tuhan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dengan memberikan pertimbangan bagi Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 35 mereka yang beribadah sesuai dengan yang dikehendakinya. Dalam Robohnya Surau Kami, hal ini dijelaskan Navis melalui “dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya” Navis, 1965143. “Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasihMu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.” “Lain?” Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu. Navis, 1965144 Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. Navis, 1965145 Kedua peristiwa yang diceritakan Navis melalui tokoh Ajo Sidi di atas sesuai dengan bagaimana Alquran mendeskripsikan surga dan neraka serta para penghuninya. Hal ini tampak melalui Surah Albaqarah ayat 81 yang berbunyi, “barangsiapa berbuat dosa dan ia telah diliputi oleh dosanya, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya” dan Surah Attaubah ayat 72 yang berbunyi, “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang mukmin, lelaki dan perempuan, akan mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan mendapat tempat-tempat yang bagus di surga Adn. Dan keridaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” Oleh sebab itu, Haji Saleh diceritakan ketakutan ketika isyarat bahwa dirinya akan masuk neraka diperjelas dan surga terasa menjauh. Karya sastra posmodern mengangkat persoalan bagaimana intertekstualitas historis, dokumen atau jejaknya, disatukan ke dalam konteks yang diakui sebagai rekaan atau fiktif, sementara masih mempertahankan nilai dokumenter historisnya Hutcheon, 2004 129. Meskipun sebenarnya Alquran bukanlah bukti historis dalam dunia nyata, terutama bagi yang tidak mengimaninya, namun narasi tentang kiamat sebagai akhir dunia dipercaya sebagai fakta yang akan terjadi sehingga memiliki nilai historis, bahkan bagi seluruh umat beragama di dunia. Pusat dan Pinggiran Seperti halnya teori sastra lainnya, posmodernisme mempertanyakan humanisme liberal, yakni otonomi, kepentingan, kepastian, otoritas, kesatuan, Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 36 kemutlakan, sistem, pusat, kesinambungan, hirarki, homogenitas, keunikan, keaslian Hutcheon, 198857. Bagi Hutcheon, karya sastra pada umumnya memiliki ketimpangan dan gesekan antar tokoh-tokohnya sehingga wajar jika keberadaannya cenderung mengguncangkan keaslian dan pusat. Dalam usaha-usaha tersebut, terdapat pihak yang berperan sebagai dominan dan ada pula yang berperan sebagai minoritas. Dalam posmodernisme, hal ini disebut sebagai pusat dan pinggiran. The decentering of our categories of thought always relies on the centers in contests for its very definition and often its verbal form. The adjectives may vary hybrid, heterogeneous, discontinous, antitotalizing, uncertain. Hutcheon, 198859 Dalam bentuk lain, pinggiran dapat berupa persilangan, keberagaman, keterputusan, antitotalitas, dan ketidakpastian. Menurut Owens dalam Hutcheon, 198859, ketika karya sastra posmodern memenuhi perannya, ia tak lagi menyatakan otonomi, swasembada, ataupun kejelasannya, melainkan untuk menarasikan kemungkinan, ketidakcukupan, dan ketidakjelasan. Dalam hal ini, pusat akan dieksploitasi dan dalam batas-batas tertentu, ditumbangkan. Seperti yang diungkapkan Derrida dalam Hutcheon, 198860 bahwa bukan berarti pusat ditiadakan, karena dalam hakikatnya sendiri manusia tidak akan bisa hidup tanpa pusat, sebab pusat adalah fungsi, bukan suatu bentuk maupun realita. Tanpa keberadaan pusat, pinggiran tak akan ada maupun diakui. Dalam Robohnya Surau Kami, pinggiran ditunjukkan oleh tokoh Kakek Penjaga Surau. Hal ini ditunjukkan melalui penggambaran berikut. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Navis, 1965 140 Dalam hidupnya, Kakek digambarkan sebagai orang yang menyerahkan hidupnya kepada Tuhan. Ia sama sekali tak mencari keuntungan, melainkan sibuk beribadah. Kakek bahkan tak pernah memikirkan kehidupan duniawinya. Sebaliknya, ia taat menegakkan perintah Allah dan berusaha menjauhi segala larangan dan perbuatan dosa. Demikian tokoh Kakek begitu dihormati dan dicintai oleh orang-orang kampung. Tak heran apabila tokoh Kakek digambarkan Navis sebagai simbol surau itu sendiri. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Navis, 1965140 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 37 Judul Robohnya Surau Kami, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana sebenarnya konstruksi pikiran Kakek begitu pula dengan manusia pada umumnya dan juga sebuah surau begitu rapuh dan dapat digerogoti oleh suatu ide yang baru. Dalam hal ini, Navis mengungkapkan tentang bagaimana beribadah’ seharusnya dilakukan dan untuk itu, tentu saja kita perlu menghancurkan konstruksi surau’ yang tradisional dan digambarkan oleh pemikiran Kakek. Bagaimanapun juga, lama-kelamaan tradisi spiritual kita pun akan berubah. Hal ini menunjukkan bahwa meski kehidupannya selalu tegak lurus dengan Yang Maha Kuasa, nampaknya tokoh Kakek menyimpan rasa getir yang disimpannya sendiri. Sekian tahun hidup seorang diri dan beribadah, ia akhirnya menumpahkan kekesalannya begitu seseorang bernama Ajo Sidi menceritakan kisah yang dianggapnya mengusik hidupnya. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Navis, 1965141 Tokoh Ajo Sidi dalam Robohnya Surau Kami mencerminkan pusat. Melalui cerita-ceritanya, ia menerapkan kontrol perilaku dalam kehidupan bermasyarakat di kampung tempatnya tinggal. Meski dikenal sebagai pembual, Ajo Sidi mampu menarik orang-orang untuk benar-benar terlarut dalam ceritanya. Hal ini contohnya ditampakkan pada bagaimana ia bisa membuat Kakek begitu bersedih hati melalui sebuah cerita saja. Ajo Sidi tak pernah mengutuk Kakek secara langsung, namun melalui ceritanya ia memberikan pandangan dan keberpihakan yang jelas terhadap bagaimana Kakek menjalani hidup. Dalam hal ini, Ajo Sidi menggunakan ceritanya sebagai sindiran bagi perilaku Kakek yang dianggapnya terlalu lurus dan hanya memprioritaskan Tuhan. Berbeda dengan Kakek yang dipenuhi rasa sentimen, Ajo Sidi bersikap pragmatis. Hal ini tampak pada penggalan cerpen berikut. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa. “Ya, dia pergi kerja.” Navis, 1965149–150 Tokoh Ajo Sidi seolah tidak pernah benar-benar memedulikan efek yang ditimbulkan oleh perilakunya sehingga menganggap meninggalnya Kakek merupakan hal yang biasa. Ia tak mengacuhkan fakta bahwa Kakek sangat jengkel Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 38 terhadapnya beberapa hari belakangan dan tak sedikitpun meminta maaf terhadap apa yang diceritakannya itu. Ia merupakan simbolisasi dinamika jaman yang terus berubah, tak peduli dengan apa yang digerusnya selama itu memuat tujuan akhir yang ingin dicapai. Hal ini diceritakan oleh tokoh aku sebagai berikut. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya. Navis, 1965140–141 Dalam penggalan cerpen di atas, tokoh aku menunjukkan akibat dari keahlian Ajo Sidi bersilat lidah tanpa mempertimbangkan lebih jauh efek yang akan ditimbulkannya bagi kehidupan seorang garin maupun keberlangsungan umat muslim. Meski demikian, tokoh aku pun diam-diam menyetujui pendapat Ajo Sidi. Meski digambarkan sebagai tokoh netral yang mampu menjawab dan melintasi permasalahan sudut pandang, tokoh aku menceritakan bagiamana sikap Kakek yang kaku terutama dalam menanggapi segala sesuatu berakhir dengan kerugian Kakek sendiri. Sebaliknya, ia bersimpati kepada Kakek karena baginya, lebih mudah menghadirkan penghiburan daripada mengusik prinsip hidup Kakek yang selama ini bersahaja. Tokoh aku berpendapat bahwa apabila Ajo Sidi tidak membualkan cerita tersebut, Kakek tetap baik-baik saja. Robohnya Surau Kami memuat cerita berlapis. Pangkal segala permasalahan dalam cerpen ini ialah cerita bualan Ajo Sidi tentang bagaimana haji yang taat beribadah bernama Haji Saleh dihisab di akhirat kelak. Cerita inilah yang membuat Kakek gusar hingga akhirnya bunuh diri. Cerita ini juga memiliki pusat dan pinggirannya sendiri. Dalam hal ini, pusat digambarkan oleh Tuhan dan malaikat, sementara pinggiran diwujudkan dalam bentuk Haji Saleh dan kawan-kawannya sesama orang yang rajin beribadah. Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga. “Bagaimana Tuhan kita ini?” kata Haji Saleh kemudian, “bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.” Navis, 1965145 Pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Haji Saleh mengumpulkan orang-orang yang dikenalnya rajin beribadah dan dimasukkan ke neraka. Ia mulai mempertanyakan keadilan Tuhan. Dengan teguh ia mempercayai keyakinannya, bahwa segala amal perbuatannya takkan berdusta dan sebenarnya ia berhak berada di surga sebab tak sedikitpun ia berhenti memuja Tuhan di masa hidupnya. Maka hal ini membuatnya pongah dan sombong. Daripada penghakiman Tuhan, ia lebih mempercayai perhitungannya sendiri yang dilandasi keserakahan serta rasa pamrih. Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya “O, Tuhan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 39 kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.” Navis, 1965146–147 Meski merasa bahwa dirinya adalah korban dari kesalahan Tuhan, Haji Saleh tetap menggunakan metode protes yang santun dan terhormat. Ia mengakui kebesaran Tuhan dan beribadah kepada Tuhan sepenuh hati selama masa hidupnya. Penggalan cerpen di atas menunjukkan sikap inferior Haji Saleh. Kendatipun ia merasa bahwa dirinya selayaknya masuk surga sebab ia tak kurang-kurang dalam beribadah, ia tetap merendah dan menuntut janji Tuhan dengan cara yang dianggapnya diplomatis. Hal ini mencerminkan pinggiran, yang sebagaimanapun kuatnya ia berusaha, pusat yang akan menentukan segalanya. Pusat dalam cerita ini digambarkan sebagai pusaran kosmis yang bagaimanapun memiliki perbedaan pandangan dengan pinggiran. Sebaliknya, sekuat apapun pinggiran berusaha, upayanya akhirnya tidak berpengaruh dan dijatuhkan oleh pusat. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!” Navis, 1965 148 “Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?” tanya Haji Saleh. “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.” Navis, 1965149 Sementara pada penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di atas, Tuhan berkuasa penuh sebagai pusat. Meskipun ia tetap mewajibkan umat-Nya untuk beribadah, nyatanya ibadah yang dimaksudkannya adalah bagaimana manusia selaras dalam memelihara keluarga, lingkungan, masyarakat, dan sumber daya di sekitarnya. Daripada menunjukkan keinginan untuk dihormati dan dipuja terus-menerus, Tuhan digambarkan mampu menilai dengan seadil-adilnya terutama berkenaan dengan kelemahan yang luput dari sorot mata manusia. Hal ini tak urung Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 40 juga membuat gagasan pusat dipertanyakan. Menurut Hutcheon 1988 58, ini adalah salah satu ciri posmodernisme. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, Navis mempertanyakan otonomi, kepastian, otoritas, dan lain-lain yang selama ini menjadi perspektif ideal. Bentuk-bentuk pertanyaan itu terwujud dalam pinggiran/minoritas. Jika selama ini penyerahan penuh dalam bentuk ibadah yang terus menerus kepada Tuhan dianggap sebagai penebus surga di hari akhir, Navis menantang wacana ini dengan memunculkan unsur pusat dan unsur pinggiran. Sebaliknya, Navis memilih menyuarakan pengarang melalui tokoh aku agar mampu menunjukkan kelebihan dan kelemahan masing-masing perspektif akan pusat dan pinggiran tersebut. Pada akhirnya, bagaimanapun juga usaha manusia untuk menuju ke surga, Tuhan adalah kekuatan absolut yang mampu menyelami hati manusia secara lebih dalam. Hal ini senada dengan salah satu prinsip posmodernisme, yakni pengarang tidak menggerakkan pinggiran untuk menjadi pusat Hutcheon, 198869. Pinggiran hanya dapat mempertanyakan maupun mengkritik pusat. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, unsur-unsur pinggiran muncul sebagai pihak yang mempertanyakan pusat. Kakek yang seumur hidupnya menjadi garin dan selalu berdoa kepada Tuhan sama dengan keberadaan Haji Saleh dan kawan-kawannya, sementara Ajo Sidi yang akhirnya mengubah pandangan Kakek itu sama dengan Tuhan yang menerapkan kontrol dan kuasa penuh terhadap segala sesuatu yang terjadi. KONTEKSTUALISASI ROBOHNYA SURAU KAMI CERMIN UMAT BERAGAMA, ARABISASI, DAN NILAI-NILAI SOSIAL SEORANG MUSLIM Kontekstualisasi diperlukan dalam teori posmodernisme untuk memenuhi kewajibannya sebagai salah satu penunjuk dengan relevansi masa kini. Hal-hal dinarasikan sesuai dengan kehendak penulis dengan tujuan untuk memuat ideologi yang ingin disampaikannya. Ideologi ini dapat berarti tujuan, maksud, atau cara tertentu yang dapat dipahami melalui kontekstualisasi. Menurut Hutcheon 198875, dalam metafiksi historiografi, diperlukan pengondisian karya ke muatan tekstualnya itu sendiri dan pengondisian dengan konteks historis, sosial, dan politik sebagaimana intertekstualitas yang lebih luas. Hubungan dengan konteks historis, sosial, dan politik ini diimplikasikan oleh sebagaimana muatan tekstual tersebut terwujud dan dimaksudkan. Kontekstualisasi membuat fiksi posmodern terhindar dari tujuan nostalgia dan menjadi sebuah karya sastra yang kritis serta bermakna. Sebab dalam ranah teoretis, narasi disadari sebagai struktur buatan manusia, bukan sebagai bentuk yang muncul dengan sendirinya. Baik itu representasi historis atau fiksional, bentuk narasi awal, tengah, dan akhir yang umum menyiratkan proses penstrukturan yang menciptakan makna dan sekaligus tatanan Hutcheon, 2004 97. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memuat gagasan tentang sosial kemasyarakatan sebagai salah satu aspek spiritual dalam diri manusia yang dipertanyakan dalam ranah agama. Dari konteks historisnya, A. A. Navis Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 41 mencerminkan kehidupan rakyat pada masa terbit karya yang dapat direlevansikan dengan masa sekarang. Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum. Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari. Navis, 1965 140 Pada masa itu, sulitnya perekonomian Indonesia bahkan tampak pada karya-karya sastranya. Indonesia di tahun 1950-an menjadi cermin indikasi negara berkembang pertumbuhan ekonomi yang tidak stabil dan tidak meratanya sistem pembangunan sehingga Jakarta sebagai ibukota menarik banyak minat pencari nafkah. Melalui penggalan cerpen Robohnya Surau Kami di Atas, Navis menggambarkan kesenjangan ini dengan menceritakan kondisi kampungnya. Ia menceritakan sosok Kakek yang dapat kita temui sehari-hari dalam kondisi serba kekurangan. Meski demikian, Kakek tak pernah ingin mengejar kesuksesan duniawi, dan sebaliknya ia hidup menyatu dengan surau hingga begitu ia meninggal, surau itu tampak kehilangan pilar penyokong. Pandangan Navis terefleksikan pada tokoh Kakek, di mana surau memegang peranan penting di kampung-kampung kecil yang hidup seadanya. Surau berperan sebagai simbol iman, simbol magis, bahkan simbol pemenuhan fungsi yang dapat beragam sesuai dengan kultur dan ketersediaan sumber daya. Melalui Robohnya Surau Kami, Navis mengungkapkan kegelisahannya tentang bagaimana akhirnya surau-surau yang dulunya demikian terhormat itu akhirnya roboh atau hilang. Ia tak lagi dimaknai sebagai entitas yang suci dan digunakan sesuai fungsi dasarnya, melainkan akhirnya berakhir sebagai onggokan bangunan yang tak bertuan. Kegelisahan Navis ini bukan tidak beralasan. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, gairah politik Indonesia masih berkobar untuk menentukan haluannya. Partai-partai politik yang muncul mati-matian membawa ideologinya masing-masing untuk disebarluaskan di Indonesia hingga tak terhitung berapa ujaran kebencian yang muncul akan suatu golongan. Bagi Navis, sikap ini menunjukkan degradasi manusia, terutama mereka yang mengaku beragama Islam. Sebagai tahun pemilu, 1955 memuat rekam jejak bagaimana politik berhasil menyusupi sendi-sendi masyarakat, bahkan aspek budaya dan agama. Meski tidak mengutarakannya secara eksplisit, Navis berpendapat bahwa hilangnya peran surau yang mengayomi masyarakat dalam makna simbolik itu merupakan akumulasi dari segala bentuk perbuatan manusia yang mulai mengacuhkan sesama dan Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 42 memperjuangkan wacana masing-masing. Pada masa ini, segala sesuatu dipandang sebagai ciri fungsionalitas semata untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini relevan sebab di masa sekarang, Robohnya Surau Kami masih dapat dibaca dan disadari kebenarannya. Ia tidak membuai pembaca pada tujuan nostalgia, melainkan memberikan pemaknaan yang baru sesuai dengan konteks yang tengah terjadi. 2019 sebagaimana tahun pemilu pun dipenuhi dengan ujaran kebencian antargolongan. Surau-surau telah tergantikan masjid-masjid megah yang kekurangan jamaah sehingga keberadaan pusat ritual agama hanya dijalankan secara fungsinya daripada benar-benar menjadi nafas masyarakat di sekitarnya. Meski demikian, hal ini bukan berarti menunjukkan penurunan umat beragama di Indonesia. Sebaliknya, dilansir dari lama berita BBC, Indonesia merupakan negara yang rakyatnya paling mendukung pentingnya agama. Hal ini didukung riset dari Varkey Foundation, sebuah lembaga yang berfokus pada peningkatan standar pendidikan untuk anak-anak terutama dari keluarga miskin, menyatakan bahwa 93 persen warga Indonesia yang berusia 17–23 tahun menganggap agama adalah faktor penting kehidupan yang menentukan kualitas dan kebahagiaan hidup mereka. Pada era sekarang, agama selain berperan sebagai tuntunan hidup, juga dapat menjadi gaya hidup yang menginspirasi banyak orang terutama berkat peran media sosial. Sayangnya hal ini tidak dibarengi dengan keseriusan pemerintah maupun pemuka umat beragama utuk menangkal penyebaran radikalisme dan fanatisme sebagai bentuk penyimpangan kegiatan beragama. Secara lebih lanjut, radikalisme dan fanatisme agama menyebabkan kesenjangan antar umat beragama di Indonesia, terutama jika didukung premis-premis yang dekat dengan kehidupan individu seperti corong ideologi lain yang dianggap sesat, ketimpangan ekonomi, dan gagalnya keadilan sosial. Bahkan, menurut jurnalis Pedersen 2016 390, upaya-upaya yang terkandung dalam peraturan pemerintah dengan tujuan untuk mengurangi kekerasan dan mengukuhkan agama dengan damai tidak berhasil. Dengan demikian dapat dipahami bahwa pesan yang ingin disampaikan Navis tidak berbatas pada umat Islam semata, tetapi sesuai konteksnya dengan hubungan umat beragama sebagai sesama manusia. Melalui Robohnya Surau Kami, A. A. Navis ingin kembali mengingatkan akan nilai kehidupan manusia yang seyogyanya saling menjaga, saling melindungi, dan saling mengayomi satu sama lain laiknya peran surau pada masa itu. “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahuwataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Artikel Sattwika Duhita berjudul “Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding Negara Lain” yang dimuat dalam Vice Indonesia 30 Mei 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 43 Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk." Navis, 1965142–143 Nilai yang ingin disampaikan Navis tersebut tampak eksplisit pada penggalan cerpen di atas. Melalui tokoh Kakek, Navis memberikan ruang bagi orang-orang yang mengagungkan agama dengan cara yang dianggapnya kurang benar’. Bagi orang-orang itu, kehidupan yang diberikan Yang Maha Kuasa seyogyanya dikembalikan dengan cara mengabdi sepenuh hati selalu memuji-muji Tuhan sepanjang waktu tanpa mengurus kepentingan duniawi. Jika ditulusuri lebih lanjut, apa yang diungkapkan tokoh Kakek di atas sama dengan rasa pamrih. Banyak orang beragama, yang dicerminkan melalui tokoh Kakek, rajin berdoa dan memuja Tuhan karena berharap akan masuk surga. Orang-orang seperti ini menghayati betul segala tata cara beribadah kepada Tuhan, seperti mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Pada masa sekarang, ketaatan sedemikian rupa perlu diiringi dengan kebijakan berperilaku. Pada penggalan cerpen di atas, Kakek berkata bahwa ia mengekspresikan segala perasaannya sebisa mungkin dalam bahasa Arab. Meski frasa-frasa tersebut lazim diucapkan umat muslim sehari-hari, namun kecenderungan Kakek dengan menganggap bahwa hal tersebut merupakan kewajiban adalah salah satu dari bentuk arabisasi. Arabisasi merupakan pertumbuhan budaya Arab pada populasi non-Arab, dalam hal ini umat Islam sebagai pemeluk agama yang teks-teks rujukannya mayoritas menggunakan bahasa Arab. Arab sebagai tradisi dengan Islam sebagai ajaran agama adalah dua hal yang berbeda. Sebagai sebuah bangsa, tradisi Arab tentu dipengaruhi oleh manusia, lingkungan hidup, dan kulturnya yang berbeda dari Indonesia. Berdasarkan landasan etnografi tersebut, Navis menganjurkan kita untuk bisa memahami perbedaan ini dan bijak dalam menyikapi masuknya budaya-budaya luar di Indonesia. “Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadah saja, karena beribadah tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!" Navis, 1965148 Pandangan Navis tampak secara eksplisit pada representasi dirinya dalam tokoh Tuhan yang dapat dilihat pada penggalan cerpen di atas. Bagi Navis, kegigihan manusia untuk berdoa sepanjang waktu tidak ada gunanya apabila tidak peduli terhadap lingkungan dan sesama. Hal ini bukan semata-mata murni Artikel Dedik Priyanto berjudul “Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia” di laman pada 7 Januari 2018 Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 44 pandangan Navis, melainkan juga telah dianjurkan oleh Islam dengan dalil hablum minallah wa hablum minannas yang berarti menjaga hubungan dengan Allah dan menjaga hubungan dengan sesama manusia. Sejatinya, tingkat keimanan manusia tidak semata diukur dari kuantitas ibadah berupa doa dan puji-pujian semata, tetapi juga ibadah sebagai bentuk bakti diri terhadap lingkungan dan sesamanya. Yang tak dapat dihindarkan dalam setiap penelitian fiksi posmodern adalah bagaimana menemukan hubungan dengan konteks yang signifikan Hutcheon, 1988 82. Menurut van Dijk dalam Hutcheon, 198882, teks-teks posmodern mengarahkan pembaca untuk mempertimbangkan wacana atau bahasa yang digunakan. Di dalamnya, wacana dikontekstualisasikan sebagai modus interaksi dalam situasi sosial budaya yang sangat kompleks Meidiana, 201618. Cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis memberikan perspektif yang berbeda dari aspek intra agama itu sendiri, yang di dalamnya tidak hanya diatur tata cara beribadah melalui doa, tetapi juga menganjurkan manusia untuk menyayangi sesama dan merawat lingkungannya. Pada masa sekarang, maksud yang ditujukan oleh A. A. Navis cukup beragam dalam berbagai lini kehidupan. Baru-baru ini kita mendapati fenomena Kementerian Agama RI yang dilanda badai korupsi dalam bentuk penyelewengan dana pengadaan kitab suci, penolakan terhadap budaya sendiri dan digantikan oleh gaya hidup kearab-araban, maupun sentimen antarumat beragama yang menghasilkan bentrok maupun kericuhan di berbagai daerah. Meski tidak secara langsung menyindir dan menentang wacana-wacana ini, media karya sastra yang digunakan Navis dapat memuat identifikasi situasi masyarakat sosial, politik, budaya, dll ketika karya tersebut diproduksi serta kesinambungan dan relevansinya dengan masa karya tersebut dipahami/dibaca, yakni masa kini. Hal ini senada dengan pendapat Hutcheon 1988 80 yang menyatakan bahwa fiksi posmodern tidak membatasi investigasi pada pembaca dan teks semata, tetapi juga proses produksi karya tersebut. Dalam proses produksi tersebut, motif dan tujuan penulis akan memperkuat relevansi karya. Dalam cerpen Robohnya Surau Kami, misalnya, A. A. Navis secara kontinu mempresentasikan gagasannya tentang ketimpangan akhlak orang-orang yang mengaku beragama, terutama muslim. Berkenaan dengan hal tersebut, Hutcheon 1988 75 berpendapat sebagai berikut. The self-conscious theorizing and historicizing of theory by writers such as Edward Said, Terry Eagleton, Teresa de Lauretis, Frank Lentricchia, and, of course, Michel Foucault, have been working in much the same manner as have contemporary art forms such as historiographic metafiction both have foregrounded the need to break out of the still prevailing paradigms—formalist and humanist—and to―situate both art and theory in two important contexts. They must be situated, first, within the enunciative act itself, and second, within the broader historical, social, and political as well as intertextual context implied by that act and in which both theory and practice take root. Kecenderungan yang dilakukan oleh penulis-penulis besar lainnya dalam penulisan metafiksi historiografis ialah memosisikan karya maupun teori dalam dua konteks penting pengondisian karya dalam tindak aplikasinya dan pengondisian Tulisan Zulman berjudul “Hablum Minallah wa Hablum Minannas” dalam https//bdkpadang/ Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 45 karya dengan konteks historis, sosial, dan politis yang diimplikasikan dalam karya tersebut. Dengan demikian, fiksi posmodern selain menitikberatkan pada substansinya sebagai karya sastra, juga memiliki keterkaitan yang erat dengan situasi yang lebih luas. Dalam hal ini, cerpen Robohnya Surau Kami karya A. A. Navis mampu memosisikan karya dengan kondisi saat ini. SIMPULAN Analisis ini menyimpulkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah sastra religi yang dapat dikaji dari perspektif posmodern. Kajian itu menunjukkan bahwa Robohnya Surau Kami adalah termasuk fiksi posmodern. Ia tidak menunjukkan representasi otomatis maupun sebatas usaha-usaha deskriptif saja, namun juga kritis dalam relasi ironinya terhadap masa lalu maupun masa depan. Hal ini ditunjukkan melalui pemilihan sudut pandang, struktur kebakuan referensi, dan kemampuannya untuk tidak terikat pada ruang temporal. Sebagai fiksi posmodern, Robohnya Surau Kami memuat unsur-unsur berupa fakta cerita, pusat dan pinggiran, serta kontekstualisasi. Fakta cerita Robohnya Surau Kami memuat interdiskursivitas dengan kajian-kajian keagamaan, terutama Alquran pada ayat-ayat tentang hari akhir, surga, dan neraka. Pusat dalam cerpen Robohnya Surau Kami direpresentasikan oleh tokoh Ajo Sidi dan Tuhan. Tokoh aku yang berperan sebagai narator pun sedikit banyak menunjukkan persetujuannya terhadap pandangan tokoh-tokoh pusat tersebut. Sementara pinggiran dalam cerpen ini ditunjukkan oleh tokoh Kakek dan Haji Saleh. Keberadaan tokoh pinggiran adalah sebagai unsur yang mempertanyakan pusat; baik perilaku, kebijakan, bahkan eksistensinya. Namun tetap tidak bisa menggerakkan pusat. Kontekstualisasi cerpen Robohnya Surau Kami menghasilkan relevansi dengan tiga isu pada masa kini, yakni sebagai cermin situasi dan kondisi umat beragama yang dipenuhi kesenjangan akibat berbagai faktor kehidupan, maraknya arabisasi yang bahkan mampu menggerus identitas kenusantaraan, dan meneguhkan kembali nilai-nilai yang selayaknya dimiliki oleh seorang muslim dengan tidak meninggalkan ibadah maupun sosialnya–sebaliknya, merawat kehidupan sosial pun termasuk dalam ibadah–. Dengan demikian dapat dipahami bahwa menelaah Robohnya Surau Kami dengan teori posmodernisme menunjukkan bahwa pelajaran penting dari posmodernisme adalah perlunya penelitian yang lebih dari sekadar teks dan pembaca untuk mengaktifkan proses pemberian makna atas suatu karya agar apa yang disampaikan dalam karya tersebut mendapat pelekatan makna yang sebenar-benarnya. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 46 DAFTAR PUSTAKA Faruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Pelajar. Goodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York Dutton. Herfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Wacana. Heryanto, Ariel. 2018. Identitas dan Kenikmatan. Jakarta Kepustakaan Populer Gramedia. Hutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Jendela. Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta Tiara Wacana. Mangunwijaya, Y. B. 1982. Sastra dan Religiositas. Jakarta Sinar Harapan. McHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Routledge. Miola, Robert S. 2004. “Seven Types of Intertextuality”. Dalam Michele Marrapodi Ed.. 2004. Shakespeare, Italy, and Intertextuality. Hlm. 13–25. New York Manchester University Press. Pedersen, Lene. 2016. “Religious Pluralism in Indonesia”. Dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology Volume 17 387–398. 2016. Prihatmi, Th. dan Sr. Rahayu. 1999. “Gerakan yang Merongrong Tradisi Realisme Makna dan Fungsinya”. Pidato ini disampaikan pada acara pengukuhan jabatan Guru Besar dalam ilmu kesusasteraan Indonesia Modern di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Semarang Tidak Diterbitkan. Pujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta Elmatera. Sarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan oleh Melanie Budianta dari Theory of Literature. Jakarta Gramedia. White, Edward. 1972. The Pop Culture Tradition Readings with Analysis for Writing. New York Norton and Company, Inc. Rudi Ekasiswanto, Analisis Cerpen “Robohnya Surau Kami” dalam perspektif Posmodernisme Linda Hutcheon SASDAYA Gadjah Mada Journal of Hunaities Vol. 4. 2020 47 Daftar Laman Duhita, Sattwika. 2018. Alasan Generasi Z Indonesia Paling Fanatik Beragama Dibanding NegaraLain. Diakses pada 13 Juni 2019. Priyanto, Dedik. 2018. Salah Kaprah Arabisasi Islam Indonesia. Diakses pada 13 Juni 2019. Zulman. Hablum Minallah wa Hablum Minannas. https//bdkpadang/ Diakses pada 28 Mei 2019. ... Selain penelitian intertekstual sebagaimana tersebut di atas, beberapa penelitian posmodernisme terhadap karya sastra Indonesia, antara lain, dilakukan oleh Faisal 2015, Fitriana 2017, Nurhidayah dan Setiawan 2019, Pujiharto 2005, Satriani 2016, Syafruddin 2010, Prihantono 2018, Fitria 2015, Supriyadi 2016, Ilham 2018, Ekasiswanto 2020, dan Humaidi 2015. ...This study aims to discover the intertextuality of the poem "Kampung" by Subagio Sastrowardojo and the short story "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" by Seno Gumira Ajidarma. The problem discussed is the realization of the short story text of "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" as a postmodernist work seen in its aesthetic tool. The theoretical framework applied in this paper is intertextuality and postmodernism, while the method used is a qualitative method with a hermeneutic approach. The result of this study shows that "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" in fact substantially confirms the hypnogram, the problem of the individual conflict with the social environment. However, in a postmodernist style "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi" demonstrates resistance to the former aesthetics or its hypogram and utilizes intertextuality by means of pastiche, kitsch, schizophrenia, and parody to express the poetic. In addition, the short story has also shifted the perspective differently than its hypogram by displaying the female protagonist as a victim of gender bias thus, it has a feminist atmosphere, while the hypogram represents lyrical characters identical to men. The last point is appropriate with the postmodernist obsession to voice the minorities and oppressed, including those who are ini bertujuan mengungkap intertekstualitas sajak “Kampung” karya Subagio Sastrowardojo dan cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” karya Seno Gumira Ajidarma. Masalah yang dibahas ialah bagaimana cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” sebagai cerpen posmodernis merealisasikan intertekstualitas sebagai puitika/sarana estetika posmodernis? Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah teori intertekstualitas dan posmodernisme. Metode yang digunakan ialah metode kualitatif dengan pendekatan hermeneutik. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa cerpen “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi”, dari sisi substansi mengukuhkan hipogramnya, yakni masalah konflik individu dengan lingkungan sosialnya. Namun, sebagai cerpen posmodernis, “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi” melakukan “perlawanan” terhadap estetika hipogramnya dan memanfaatkan intertekstualitas dengan sarana pastiche, kitsch, skizofrenia, dan parodi untuk mewujudkan puitikanya. Selain itu, cerpen tersebut juga telah melakukan pergeseran perspektif terhadap hipogramnya dengan menampilkan protagonis perempuan sebagai seorang korban bias gender sehingga cerpen ini beratmosfer feminis, sementara hipogramnya merepresentasikan tokoh lirik yang identik dengan laki-laki. Hal terakhir ini sejalan dengan obsesi kaum posmodernis untuk menyuarakan pembelaan terhadap kaum minoritas dan tertindas, termasuk mereka yang tersisih secara Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka PelajarFarukFaruk. 2015. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta Pustaka Spirit Come! The Literary Essay of Paul GoodmanPaul GoodmanGoodman, Paul. 1977. Creator Spirit Come! The Literary Essay of Paul Goodman. New York sebagai Agen Perubahan BudayaAhmadun HerfandaYosiHerfanda, Ahmadun Yosi. 2008. Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya. Dalam Anwar Efendi Ed.. 2008. Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif. Hlm. 132. Yogyakarta Tiara Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of PosmodernismLinda HutcheonHutcheon, Linda. 1988. A Poetics of Posmodernism. London Routledge. -. 2004. Politik Posmodernisme Linda Hutcheon. Terjemahan oleh Apri Danarto dari Politics of Posmodernism 1989. Yogyakarta Fiction. London RoutledgeBrian MchaleMcHale, Brian. 1991. Postmodernist Fiction. London Types of IntertextualityRobert S MiolaMiola, Robert S. 2004. "Seven Types of Intertextuality". Dalam Michele Marrapodi Ed..PujihartoPujiharto. 2010. Pengantar Teori Fiksi. Yogyakarta dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and PostmodernismM SarupSarup, M. 2003. Poststrukturalisme dan Posmodernisme Sebuah Pengantar Kritis. Terjemahan oleh Medhy Aginta Hidayat dari An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernism. Yogyakarta Jendela. unRmWky.
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/316
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/78
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/266
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/85
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/4
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/273
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/207
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/249
  • ek3q6m9cmk.pages.dev/327
  • cerpen kemarau karya aa navis